Kalimat Jauh

202 3 1
                                    

Tak terasa, Rahma telah menuntaskan skripsinya. Kini dia hanya sibuk di bimbel dan mulai mencari-cari informasi lowongan pekerjaan. Sudah tiga bulan semenjak Nadya berangkat ke pondok, dan hampir setengah tahun lalu dia mengantar Bima masuk ke pondok. Rahma menuntaskan kuliahnya di smester 7, cukup hebat menurutnya.

"Hayo lo. Mikirin Bima, Yak?" Goda Silvy, yang tiba-tiba duduk di sampingnya.

Saat ini mereka berdua sedang bersantai di depan televisi sambil menikmati senja di masa-masa akhir kuliah, meski Silvy masih menempuh satu semester lagi. Rahma menikmati acara-acara yang disajikan oleh stasiun televisi itu, sebuah perlombaan memasak yang ditayangkan. Melihat berbagai tingkah kontestan membuatnya tertawa sendiri. Hingga hpnya bergetar oleh sebuah panggilan masuk.

Bapak?

"Assalamualaikum, Pak.... Sehat, Rahma tinggal nunggu wisuda aja, kok.....

Silvy menurunkan volume televisi, mengetahui Rahma ditelpon orang tuanya.

"Apa!? Mamak sakit?..... Innalillahi, astaghfirullah, mahal banget, Pak." Rahma terbelalak. Kemudian bangkit, mencari ruang privasi.

"Pokoknya sekarang, kamu pulang dulu. Mamak pengen ketemu kamu." Kalimat terakhir dari Bapaknya sebelum panggilan itu terputus. Jantung Rahma berdetak cepat, dia bergegas mengemasi barang-barangnya di kamar.

"Kenapa, Ma?" Silvy menyadari Rahma sedang tidak dalam kondisi baik, menghampirinya.

"Gua harus pulang, Vy. Mamak sakit, kata mantri di puskesmas harus dirujuk ke RS buat oprasi." Rahma tampak menata sedikit pakaiannya agar muat lebih banyak.

"Lu mau naik apa? Bentar lagi maghrib, apa ga kemaleman nyampe rumah?" Silvy memeriksa aplikasi pemesanan tiket kereta. Menurutnya, bus antar kota kurang aman untuk perempuan yang pulang sendirian.

"Eh, ini ada. Tapi abis isya." Silvy melihat tiket kereta kelas ekonomi yang tersisa selembar.

"Ya, udah. Ga papa." Rahma menyahut cepat.

Rahma berangkat tepat setelah sholat maghrib.

•••

Silvy terjaga dari tidurnya, telinganya menangkap suara ketukan pintu di antara suara televisi. Silvy meregangkan otot-ototnya, sambil mencari-cari keberadaan hpnya. Dia terbelalak saat melihat jam di display layar hpnya menunjukkan pukul sembilan pagi. Ah, kan ga jadi bimbingan gua, keluhnya dalam hati.

Silvy bangkit, sambil memakai hijab instannya. Melangkah gontai, membukakan pintu apartemen. Ternyata seorang petugas dengan secarik surat di tangannya. Untuk Ustadzah Rahma. Silvy menerima surat itu dengan hati bertanya-tanya. Emang ini zaman kemerdekaan? Namun dia terbelalak setelah melihat nama pengirimnya. Bima Aditya Gunawan.

Sementara itu, Rahma sedang menyuapi Ibunya yang terbaring tak berdaya. Tubuhnya tampak seperti tulang belulang yang dibungkus kulit. Nuansa pagi hari di desa memang sangat damai. Berbeda dengan kehidupannya di kota, yang pagi harinya hanya sampai setengah delapan. Pagi di desa bisa sampai jam sembilan atau jam sepuluh.

"Ibu makan yang banyak, ya." Ucap Rahma sambil menyuapi Ibunya, yang hanya bisa tersenyum. Mereka hanya berdua di rumah, Bapaknya sedang ke sawah untuk menggarap lahan. Sawah mereka yang dulunya luas, kini tersisa sepetak. Habis untuk menutup sebagian uang kuliah Rahma dan membawa ibunya berobat.

"Assalamualaikum." Suara bariton itu terdengar jelas hingga ke kamar Mamaknya. Rahma menoleh, menjawab salam tersebut.

Seorang lelaki berbadan besar dengan kumis melintang di atas bibirnya itu tersenyum, melihat Rahma menyambutnya.

"Oh, Pak Haji Mu'in. Mari, Pak. Duduk." Rahma mempersilahkan Mu'in masuk. Dia kembali ke dalam untuk membuatkan segelas teh hangat.

"Silahkan, Pak." Rahma menyuguhkan teh hangat itu, dan menanyakan maksud kedatangan Mu'in. Lelaki itu terus mengulas senyum cabul yang tersamarkan oleh kumisnya.

"Kamu Rahma, kan? Nah, jadi gini. Bapakmu pernah hutang sama aku buat berobat Mamakmu dulu, dan hari ini udah jatuh tempo." Mu'in sedikit menggeser tubuhnya, sambil menyondongkan tubuhnya ke arah Rahma.

Rahma terbelalak, menutup mulutnya dengan talapak tangan. Di kepalanya saat ini hanya terpikir bagaimana agar keluarganya terlepas dari masalah, setidaknya Rahma masih memiliki 10 juta di rekeningnya. Hasil jerih payahnya di bimbel.

"Berapa hutang Bapak saya?" Rahma berusaha memasang wajah tenang. Mu'in menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"15 juta." Seutas kalimat yang keluar dari mulut Mu'in seakan membuat Rahma membatu. Pikirannya kosong. 15 Juta? Serius? Batinnya berkecamuk.

"Yah, tapi tak harus dibayar sekarang. Saya juga belum terlalu membutuhkan uang itu, jadi kabari saja ketika uangnya siap." Mu'in bangkit dari duduknya, pamit sambil mengulas senyum dengan tatapan mata yang seolah-olah menelanjangi tubuh Rahma, yang terduduk lemas.

Saat Bapaknya pulang, Rahma mencari kesempatan untuk menanyakan hal ini. Dia yakin Mamaknya tak mengetahui perkara piutang ini, Bapak tak mungkin menceritakannya.

"Pak, Rahma mau tanya." Rahma menghampiri Bapaknya yang duduk di dipan, di depan rumah dengan secangkir kopi dan selinting tembakau karya sendiri.

"Tadi pagi Haji Mu'in kemari." Bapaknya langsung paham maksud Rahma. Namun reaksi Bapaknya itu yang tidak dia duga.

"Ibumu sudah tahu tentang hal ini, dan kita sepakat." Ucap Bapaknya.

"Tiga hari lalu Haji Mu'in datang menagih hutangnya. Dia tak sengaja melihat foto kamu pas wisuda dari pesantren yang Bapak pajang di ruang tamu. Haji Mu'in tertarik padamu, dan menawarkan untuk menikahimu. Dengan begitu hutang bapak padanya dianggap lunas." Bapaknya menyeruput kopi dari gelas besi bercorak hijau putih abstrak itu.

"Kedatangan Haji Mu'in juga yang menjadikan Mamakmu drop, hingga dibawa ke puskesmas." Mata Bapaknya yang semula teduh, berubah menjadi penuh masalah.

"Dan itu tujuan kami menyuruhmu pulang." Bapaknya benar-benar terlihat pasrah. Namun kepasrahan itu yang tidak dapat diterima Rahma.

"Bukannya Haji Mu'in sudah beristri? Kenapa mau nikahin Rahma?" Rahma, dengan nada tak terimanya, mencoba mencari celah agar dapat lepas dari dinikahi Haji Mu'in.

"Iya, Haji Mu'in sudah menikah. Istrinya ada tiga sekarang, dan kamu yang keempat."

Rahma hanya dapat menahan isakan lirihnya, sambil berlalu masuk ke dalam rumah. Ini ga adil! Batinnya.

Rahma menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Dia meredam suara tangisannya sekuat tenaga. Dia meraih hp nya yang tergeletak. Rahma butuh tempat cerita.

Baru saja hendak menghubungi Silvy, dia melihat pesan masuk dari temannya itu. Sebuah foto dari selembar kertas.

Assalamualaikum.

Ustadzah, makasih ya udah bantu Bima. Ngajarin Bima baca kitab juga. Alhamdulillah Bima bisa ikut kelompok tahfidz.

Oh, iya. Ustadzah kabarnya gimana? Bima harap Ustadzah sehat. Bima di sini juga sehat, walaupun sedikit kaget sama pola hidup pesantren.

Sebenernya Bima bingung mau nulis apa, jadi ya udah deh. Sekian aja.

Wassalamualaikum.

Salam-Bima.

Rahma kaget. Bima mengiriminya surat? Ya, itu memang dari Bima. Lelaki yang saat ini sedang duduk bersama puluhan santri lain dengan sebuah kitab di tangannya. Jemarinya mengeja kalimat yang diucapkan oleh Kyai Khoirun.

 Back With Me, Ustadzah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang