Bukan Atau Belum

502 6 0
                                    

"Shadaqallahul 'adzim." Rahma menutup buku 'Belajar Mengaji' milik Nadya. Wanita mungil yang menghela nafas lega setelah membaca Surah Al-Insyirah. Buku belajar mengaji milik Nadya memang dilengkapi dengan surah-surah pendek. Ana, yang duduk di sebelah Nadya, tersenyum melihat wajah putrinya. Gunawan yang baru kembali dari acara komplek juga melempar senyum pada Nadya.

"Hebat anak ayah, udah bisa baca Al-Qur'an." Puji Gunawan, ikut bergabung dengan mereka.

"Oh, iya. Mumpung ada Ustadzah, saya mau meminta tolong." Wajah serius Gunawan masih dihiasi senyuman.

"Jadi saya ada rencana untuk memberikan santunan ke panti asuhan. Tapi ini dikonsep seperti acara tasyakuran." Gunawan menatap istrinya, yang mengangguk setuju.

"Kami mau minta tolong pada Ustadzah buat nemenin Bima membeli keperluan acara. Dia sudah bawa list yang harus disiapkan." Jelas Ana. Rahma mengangguk paham.

"Bima bilang nanti dia jemput Ustadzah di kampus."

Rahma terbelalak sejenak, sebelum mengangguk-anggukkan kepala.

Ana dan Gunawan tersenyum, menyembunyikan rasa penasaran mereka berdua. Ada hubungan apa antara Ustadzah dengan Bima?

___NTG___

Udara sejuk dari gedung ber-AC tiba-tiba sirna saat kaki Rahma selangkah keluar gedung. Udara di kota besar membuat Rahma kesulitan beradaptasi di awal-awal masa kuliahnya, namun perlahan dia terbiasa dengan panas mentari yang bahkan tak dapat dibendung oleh dinding.

Sebuah mobil sport putih sudah terparkir damai di depan gedung. Tuannya sedang bersandar santai sambil menikmati musik yang terputar di dalam mobil. Jendela sebelahnya terbuka, tangannya terjuntai dengan sebatang rokok yang tergamit di sela jemarinya.

Bima merokok? Rahma sudah tidak kaget. Bisa dibilang itu adalah pemandangan yang menyambutnya tiap kali datang ke rumah Gunawan untuk mengajar Nadya.

"Matiin rokoknya. Ini kawasan bebas asap rokok." Rahma menghempaskan pantatnya ke jok sebelah Bima. Lelaki itu memasukkan rokoknya, yang sudah terbakar lebih dari setengah batang, ke dalam kaleng minuman bersoda. Bima dengan santainya melemparkan kaleng itu, masuk, ke dalam tempat sampah.

Rahma memelototi lelaki yang duduk di balik kemudi itu. Menjewer telinga Bima. Sementara di jok belakang, Nadya tertawa kencang melihat Rahma menjewer kakaknya.

"Lain kali jangan dilempar!" Ucapnya dengan penekanan di tiap katanya.

"Aduh... Aduhh... Iya... Iyaaa, janji." Bima mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya, pertanda berdamai. Rahma hanya tersenyum menanggapi bocah SMA itu.

Mobil mereka mulai melaju, dengan sepasang mata yang terus memperhatikan mobil yang tenggelam di antara padatnya jalanan itu.

Mobil mereka merapat di parkiran sebuah Mall besar. Bagi Bima dan Nadya, tempat ini mungkin tidak asing, berbeda dengan Rahma yang masih awam seputar dunia per-shoping-an.

Nadya turun dengan semangat, disusul Rahma dan Bima di belakang wanita cilik itu. Bima menunjukkan daftar barang yang hendak dibeli pada Rahma, yang berulang kali menahan diri saat melihat barang-barang bagus. Bagaimanapun juga, Rahma tetaplah wanita. Namun matanya lebih takjub pada daftar belanjaan yang ditunjukkan Bima dari hp-nya. Sebanyak ini? Rahma meraih hp Bima untuk memastikan matanya masih sehat. Belum lagi bila ditotal bisa tembus lima juta.

Sebenarnya Rahma sudah paham betapa kayanya seorang Gunawan, terlihat dari uang bulanannya sebagai pengajar Nadya. Bahkan tak jarang uang itu kelebihan, dan selalu ditolak saat hendak dikembalikan. Ditambah dengan kendaraan milik Bima yang terbilang mewah untuk porsi anak kelas 12.

Mereka mulai belanja, menyusuri Mall besar itu sambil memilih-milih barang yang cocok. Rahma mengerutkan dahinya saat berhenti di tempat mainan-mainan dijual. Boneka? Nadya yang berdiri di hadapan mereka tersenyum dengan polosnya. Bima hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Rahma duduk di kursi panjang yang tersedia di depan Mall, yang dinaungi atap berwarna merah dengan tanaman rambat buatan sebagai hiasan. Nadya duduk di sebelahnya sambil memeluk boneka Unicorn barunya.

Pluk...

Rahma terbelalak, merasakan benda dingin menyentuh kulit pipinya. Dia menoleh, mendapati Bima yang menjulurkan es krim padanya. Rahma menerima es krim itu sambil memalingkan wajahnya, berharap Bima tidak melihat semu merah beserta senyum salah tingkahnya. Inget Rahma, Lu lebih tua dari Bima, jangan baper.

"Ustadzah kenapa?" Rahma terbelalak, kaget saat melihat Nadya yang memandanginya lekat-lekat sambil menerima es krim dari Bima juga.

Setelah habis es krim mereka, mobil kembali melaju. Tujuan selanjutnya adalah toko buku. Rahma menuju rak buku dengan tulisan 'Agama' yang tergantung di atasnya. Sementara Nadya sibuk dengan buku-buku dongeng anak-anak. Bima seperti biasa, hanya berdiri tak jauh dari Rahma.

Bima dan Rahma membawa banyak buku, diserahkan pada kasir. Nadya juga meletakkan sebuah buku dongeng 'Timun Emas'.

Bima dan Rahma menghela nafas lega setelah seharian berkeliling Mall dan toko buku. Nadya sendiri telah terlelap di jok belakang, saat jalanan raya mulai dipadati oleh manusia-manusia kantoran, yang tak sabaran ingin lekas menyapa tempat tidur. Saking tak sabarnya, detikan lampu merah masih di angka tiga, sudah dikelakson sekuat tenaga.

"Kita masih belum beli baju." Bima mengingatkan wanita yang melamun di jok sebelahnya itu. Bima ber-halo sambil melambai-lambaikan tangannya di hadapan wajah Rahma.

Mereka sampai di toko baju tepat saat adzan maghrin bertalu dari speaker masjid. Nadya dan Rahma melangkah menuju mushalla kecil di samping toko, ikut berjama'ah dengan warga sekitar. Bima? Dia sendiri sudah lupa bahwa sholat adalah kewajibannya.

Bima duduk di jok depan mobil dengan pintu terbuka. Rokok yang tergamit di jemarinya sudah tersulut. Matanya terus tertuju pada orang-orang yang sedang sholat. Oh, iya. Gua islam, kayaknya, batin Bima sambil melanjutkan kegiatan merokoknya.

Rahma kembali ke mobil untuk mengambil tasnya, setelah sholat.

"Ayo, buruan. Entar kemaleman baliknya." Ucap Rahma, melanglah pelan meninggalkan Bima di mobil sendirian. Bima langsung mematikan rokoknya dan menyusul Rahma.

Mereka mulai membeli beberapa baju taqwa dan gamis. Juga beberapa sarung dan celana panjang. Toko Pakaian 'Bang Aji' adalah toko pakaian yang melayani grosir. Mereka sendiri adalah tangan pertama dari pabrik, sehingga harga mereka lebih rendah dari pasar.

Rahma berhenti di depan sebuah gamis terusan berwarna krem dengan motif batik di bagian pundaknya. Namun dia segera ingat saldo tabungannya yang sudah disedot oleh lelaki bajingan untuk berjudi. Membuat Rahma urung mengambil baju itu.

"Ambil aja." Ucap Bima sambil melirik ke arah Nadya yang sibuk memilih gamis berhadiah kalung cantik. Rahma hanya tersenyum sambik menggeleng.

"Engga usah. Uang itu amanahnya buat beli keperluan besok." Ucap Rahma, yang hendak berlalu, namun pergelangan tangannya dicekal oleh Bima.

"Tenang, Nadya dari tadi juga pakai uangku." Bima berusaha meyakinkan Rahma untuk mengambil gamis yang dia pandangi dengan menunjukkan tulisan discount 20%.

"Udah, Bu? Cuma ini?" Tanya Bapak-bapak yang duduk di balik meja kasir sambil memandangi tumpukan pakaian yang ada di dalam keranjang. Cuma ini? Rahma terkikik di dalam hati.

"Wah, adek manis. Kamu mirip banget sama ayah kamu, ini ibumu ga kebagian jatah di wajah, ya?" Rahma dan Bima menoleh serempak ke arah Nadya, yang sedang bersama wanita usia empat puluhan tahun.

"Bukan, Bu. Ini anak... Eh, adek saya." Bima berusaha meluruskan.

"Oh, kalian belum punya anak? Apa udah mulai hamil?" Ibu itu memberikan sebuah gelang kayu pada Nadya, sambil melihat ke arah Rahma dengan mata yang menyipit.

"Eh?"

 Back With Me, Ustadzah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang