Permisi

744 6 0
                                    

Rahma melangkah, melewati koridor bersama keramaian suasana kampus. Di bahunya tergantung tas berwarna coklat kusam, senada dengan kerudung dan corak kemeja yang dia pakai hari ini. Kemeja putih dengan garis-garis besar berwarna coklat, dipadu dengan rok berwarna krem. Ditambah wajahnya yang dihiasi kacamata membuatnya tampak imut.

"Rahma!" Seseorang mengagetkannya dengan tangan yang tiba-tiba merangkul pundaknya.

"Ish, lu mah. Kalo udah ama cowo, lupa ama temen." Rahma memasang muka masam yang dibuat-buat, sementara temannya itu hanya terkekeh kecil.

Silvy Maulida, gadis mungil dengan wajah manis terbalut hijab itu adalah teman satu kontrakan Rahma. Wanita yang tekun karena sadar isi otaknya yang kopong itu bekerja sambilan menjaga toko pulsa dan aksesoris hp. Meski kepalanya kosong, namun dia cepat tanggap untuk masalah uang.

"Makanya cari cowo yang bener. Jangan yang jadiin pacarnya buat taruhan." Sindir Silvy sambil berbisik, kemudian terkekeh. Rahma hanya mengangguk-anggukan kepala.

Rahma adalah alumni pondok pesantren dengan segala kepolosannya tentang kehidupan remaja zaman sekarang. Sebelumnya dia menjadi pacar lelaki yang diidolakannya sekaligus kakak tingkatnya di kampus. Pertama kali Rahma kagum adalah saat lelaki itu memberikan sambutan sebagai ketua pelaksana di acara pekan perkenalan. Rahma memendam perasaannya sejak saat itu, tak mau orang lain tahu. Sayangnya Silvy tak sengaja menemukan buku hariannya.

Ramli Azizi, lelaki yang diidolakannya dan mereka jadian di penghujung semester tiga. Sayangnya, hampir setengah tahun berjalan, Silvy merasakan keanehan saat Ramli sering meminjam uang. Awalnya lelaki itu berlagak memelas, namun semakin diberi semakin ngelunjak. Bahkan tak jarang Ramli mendatangi rumah kontrakan Rahma untuk meminjam uang dengan paksa.

Dan puncaknya tiga hari lalu, saat Ramli tiba-tiba menelponnya, meminta bantuan. Ramli terdengar sedang ketakutan saat di panggilan suara, membuat Rahma bergegas menuju tempat yang disebutkan. Siapa sangka, lelaki itu malah menjual Rahma kepada gangster untuk melunasi hutang judinya. Dan lebih gilanya, ternyata selama ini Ramli sudah memiliki pacar, makin hancurlah hati Rahma saat itu.

Setelah kelas, Rahma melengang menuju gedung perpustakaan. Dia hendak merangkum buku pembelajaran untuk materinya di tempat bimbingan belajar. Rahma mengambil beberapa buku dan mulai menyalin poin-poin penting dari tiap materi yang dia butuhkan.

"Halo, cantik." Seseorang tiba-tiba duduk di kursi sebelahnya. Lelaki dengan aroma yang menyengat dari parfumnya itu mendekatkan kursinya pada Rahma, mempersempit jarak mereka. Tangan Rahma sedikit bergetar, ketakutan, saat menyadari siapa lelaki itu.

"Maaf, Obby. Aku lagi sibuk." Rahma melanjutkan kegiatan merangkumnya dengan hati yang was-was. Obby tersenyum sambil menunduk, melihat wajah Rahma dari posisi yang lebih rendah.

"Engga, kok. Kamu cukup gitu aja udah cantik." Ucap Obby sambil menyandarkan kepalanya ke meja.

Rahma berusaha tak hirau dan melanjutkan menulis, hingga tiba-tiba dia terbelalak. Dia merasakan ada sesuatu yang hinggap ke dadanya, meremas lembut.

Plak....

Rahma berdiri dari tempat duduknya, menatap Obby dengan mata berkaca-kaca setelah melayangkan tamparan keras. Obby sendiri kaget melihat reaksi Rahma. Terlebih seluruh tatapan kini terarah pada mereka berdua.

Kenapa dia nolak? Padahal kan dia abis diperkosa, terus besoknya masuk ke kelas kek ga kenapa-kenapa. Batin Obby berdebat sendiri. Obby adalah karib Ramli, jelas dia tahu Rahma diberikan pada bandar sebagai tebusan hutangnya. Namun Obby tak tahu bahwa Rahma terselamatkan malam itu.

Rahma pergi meninggalkan ruang perpustakaan, sementara Obby hanya dapat memandangi punggung yang menghilang di balik pintu. Obby hanya bisa termenung. Ingatannya kembali ke beberapa semester lalu.

___NTG___

Bruk....

"Aduh. Maaf, Kak."

Wanita mungil dengan kacamata itu lekas bangkit dan memunguti buku-bukunya yang terjatuh. Sementara yang dimintai maaf tertegun sejenak, sebelum memberikan senyum. Wanita dengan dress hitam putih khas Mahasiswa Baru itu berlalu terburu-buru.

Nur Aroby, yang saat itu masih semester tiga, benar-benar terpikat pada wanita berhijab putih itu. Wanita dengan senyum yang selalu tersuguh di wajahnya. Obby sendiri adalah seorang mentor kelompok pekan perkenalan, sayangnya tak ada wanita cantik di kelompoknya. Hampir semua memiliki selera berpakaian yang monoton.

Setelah kejadian tabrakan itu, Obby diam-diam selalu mencari wanita yang menabraknya di antara mahasiswa baru. Sayangnya dia tak pernah lagi bertemu. Hingga suatu hari di semester enam.

"By, ni bocah katanya suka ama gua. Kita buat main aja kali?" Karibnya, Ramli, menunjukkan sebuah foto yang membuat Obby sukses terdiam.

"Dia bilang ke elu?" Tanya Obby sambil mengalihkan perhatiannya pada laptop yang masih sibuk dengan Microsoft Word.

"Kaga, gua dikasih tahu ama temennya." Obby hanya terdiam mendengar cerita Ramli.

"Kan lu ada Amel. Gimana nasibnya entar?" Obby sama sekali tidak melirik Ramli, fokus pada layar laptopnya.

"Tenang ae, Amel mah paham dia." Ramli terkekeh, membuat hati Obby menjadi perih.

Obby mengutuki dirinya sendiri yang pengecut kala itu. Saban hari batinnya tersayat melihat Wanita yang dia sukai ditipu oleh karibnya sendiri. Dan saat dia sadar, puncaknya bukanlah saat Ramli meminta paksa uang Rahma, namun saat Ramli menjadikan Rahma sebagai jaminan hutangnya pada bandar judi.

Obby benar-benar hancur, namun dia tak berani melawan para bandar judi itu. Obby berusaha memutar otak untuk menyelamatkan Rahma, dia sengaja datang ke sana. Sayangnya dia hanya terdiam saat melihat dua preman bertubuh kekar menghampiri Rahma dan menyeretnya ke dalam gang sempit. Obby yang pasrah pun memilih kembali. Percuma juga, gua bakal KO dan Rahma tetep diperkosa, batin Obby saat itu.

Otak jahat Obby malah menemukan rencana. Wanita yang sudah pernah ditiduri memiliki organ intim yang lebih sensitiv. Itulah yang Obby incar. Obby hanya berpikir untuk memiliki Rahma, meskipun dengan cara kotor.

___NTG___

Rahma duduk sendirian di halte sambil sesekali menyeka air matanya yang terus meleleh. Obby? Rahma masih tidak menyangka bahwa karib Ramli yang sudah dia anggap seperti kakaknya itu melakukan hal yang ditakuti Rahma. Dia sesenggukan perlahan, untunglah halte masih sepi karena belum waktunya pulang.

Sebuah Mobil Sport warna putih merapat ke tepi jalan, tak jauh dari halte. Seorang lelaki turun dari sana, melangkah sedikit cepat menghampiri Rahma.

"Ikut aku, Ustadzah." Rahma terbelalak menyadari sosok itu. Bima yang masih dengan seragam SMA-nya, yang tak rapi. Rahma mengangguk lesu, mengekor di belakang Bima, yang membukakan pintu jok sebelah kemudi. Mereka melaju perlahan diantara truck-truck yang memadati jalanan siang.

"Ustadzah kenapa?" Bima melirik Rahma, yang masih menyeka air matanya. Rahma hanya menggelengkan kepala.

"Kita makan, yuk." Ajak Bima sambik tersenyum, menghadap Rahma. Membuat wanita itu tertegun. Bocah yang biasanya berwajah datar itu melemparkan senyuman padanya.

Rahma sendiri masih berpikir, kenapa Bima? Malam saat dirinya hendak diperkosa, dan sekarang saat dirinya menangis setelah dilecehkan.

Bima seakan mengetuk pintu hatinya yang terkunci karena ulah Ramli. Dengan lembut berkata, permisi.

___NTG___

Janlup tinggalin jejak, ya❤️

 Back With Me, Ustadzah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang