Hubungan?

393 4 2
                                        

"Yang mim di atas kalimat ini, itu tanda mubtad'a. Jadi bacanya utawi iki, habis itu ada huruf kho, artinya iku." Rahma kebingungan menjelaskan, meski sebenarnya dia sudah menguasai materi ini.

Ya, Rahma memutuskan untuk menerima tawaran Gunawan. Membantu Bima belajar membaca kitab kuning untuk tes masuk ke pondoknya. Kendala Bima adalah bahasa jawa yang jadi pengantar, namun ternyata Bima cepat memahami bahasa jawa. Bacaan bahasa arabnya juga tidak terlalu kaku. Yang membuat Rahma kagum adalah Bima bisa hafal satu paragraf yang jadi syarat masuk.

Rahma memeriksa list, daftar materi untuk tes masuk Bima. Membaca kitab, udah. Tinggal membaca Al-Qur'an sama menulis bahasa arab dan arab pegon. Rahma mengernyitkan dahinya.

Arab pegon adalah bahasa indonesia atau jawa yang ditulis dengan huruf arab tanpa harakat. Dalam sejarahnya hal ini terjadi ketika masa kolonial. Kala itu ada sebuah aturan dimana tidak diperbolehkannya buku pelajaran atau kitab bertuliskan huruf latin, sehingga para Ulam'a menciptakan metode arab pegon untuk mengakali hal tersebut. Dan hal ini masih berlanjut hingga sekarang di pondok-pondok salaf, karena lebih mudah dan simpel. Juga tidak menghabiskan banyak ruang di kitab.

"Bima, kamu udah bisa baca Al-Qur'an?" Rahma menunjukkan daftar materi tes masuk pondoknya. Bima hanya mengangguk tanpa berkomentar.

"Kalau membaca Al-Qur'an sepertinya Bima sudah bisa. Dia pernah diajari kakeknya dulu." Ana muncul dari dapur bersama Nadya. Mereka membawakan camilan dan minuman.

"Bima ini sebenernya udah bisa baca Al-Qur'an sama hafal juz 30. Itu pas liburan SD dulu, ya?" Ana memastikan ingatannya tidak salah sambil melihat Bima.

"Sebenernya kendala Bima cuma di membaca kitab sama menulis arab pegon." Jelas Bima, meraih sebungkus rokoknya.

"Kak, ngrokoknya dibalkon!" Ana memelototi anaknya yang seketika nyengir itu.

"Iya, ih. Kamar Kakak aja putungnya banyak banget." Nadya menimbrung, membuat Bima serba salah menanggapi tatapan Ibunya. Rahma hanya tersenyum.

"Dah, lah. Engga bapaknya, engga anaknya. Sama aja."

Rahma pamit pulang, karena hari kian gelap. Dia diantar oleh Bima dan Nadya. Rahma kali ini tak lagi pulang ke rumah kontrakannya. Dia dan Silvy resmi menempati apartemen Bima. Seperginya Archan untuk kuliah di jerman, Bima sudah jarang datang ke apartemennya. Archan sendiri masih sering menelpon Bima tiap malam, mencurahkan keluh kesahnya yang sulit beradaptasi dengan lingkungan jerman.

Sampai di apartemen, Rahma langsung mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk. Mengganggu Silvy yang sedang menonton drama percintaan sambil menyantap seblaknya. Silvy sudah berhasil menerima keadaannya, dan kembali seperti sedia kala. Meski dia lebih sering mengurung diri.

"Cie, yang abis ngajarin ayangnya." Celetuk Silvy, sambil mencubit pipi Rahma.

"Ayang apaan. Kaga ada ayang-ayangan." Rahma memasang wajah ngambek yang dibuat-buat, membuat Silvy terkekeh.

"Eh, tapi boleh, tauk. Secara Bima itu ganteng, dan lu baru aja ngetes kecerdasannya, kan?" Opini-opini liar Silvy seputar lelaki adalah satu-satunya hal yang tidak pernah hilang, mungkin. Namun Rahma cukup bahagia melihat karibnya itu dapat kembali tersenyum.

"Ga ada." Sahut Rahma cepat, kemudian berlalu ke kamarnya.

"Oh, ya. Tadi aku nemu kertas tulisan kamu!" Seru Silvy tepat sebelum Rahma menutup pintu kamarnya, membuat wanita itu mematung. Kertas tulisan aku? Jangan-jangan....

___BWM___

Bima saat ini sedang mengemas pakaiannya yang akan dibawa ke pondok. Sarung, gamis, peci, celana pendek, kitab-kitab yang akan dia pelajari nanti. Bima sendiri tampak tetap dengan wajah datarnya, dia tak memiliki gambaran seperti apa hidup di pondok pesantren.

"Bim, itu ada titipan dari Archan." Ana berdiri di ambang pintu dengan sekantong plastik di tangannya.

"Barusan dianterin sama Om Irawan." Lanjut Ana sambil duduk di kasur Bima. Dia melihat-lihat barang yang Bima bawa, sambil memastikan tak ada yang lupa dimasukkan ke dalam koper. Sebagai seorang Ibu, jelas berat melepas anaknya untuk pergi ke pondok. Namun ini sudah kesepakatannya dengan Gunawan.

"Nanti di sana kamu jangan bandel, ya. Jangan lupa juga makannya yang teratur." Ana memberikan nasihat-nasihatnya, seakan benar-benar berpisah dengan Bima.

"Apaan si, Mah. Alay banget." Sahut Bima sambil tersenyum, membuat Ana mencubit gemas perut bagian sampingnya.

"Bima, ga boleh begitu. Mama kamu kemaren nangis semaleman." Gunawan muncul di pintu bersama Nadya.

"Udah, ah. Pa, ga usah dicerita-ceritain." Kini Ana yang malu sendiri.

"Tapi bener, Mah. Abis Bima ke pondok, Nadya juga ke pondok. Rumah jadi sepi, gimana kalo bikin lagi?" Gunawan melempar senyum ambigunya pada Ana, membuat wanita itu melotot dengan wajah merah padam. Nadya yang tak tahu hanya melihat wajah Ibunya sambil tersenyum, sementara Bima hanya berdehem keras.

Paginya, mereka sudah bersiap mengantarkan Bima untuk pergi ke pondok. Tak hanya keluarga Gunawan, Rahma dan Silvy juga diajak untuk mengantar. Bima dengan kaos dan sarung berwarna Biru tua duduk di kursi depan. Di sebelahnya, Gunawan duduk sambil menikmati musik tahun 90-an yang dia putar. Di barisan tengah, Rahma, Silvy, dan Ana duduk sambil mengobrol ringan. Nadya ikut dengan mobil yang dikendarai Pak Sutris. Karena sejak pagi dia sudah rewel, menempel ke Mak Zum.

Sore hari, mobil mereka memasuki pekarangan luas dengan sebuah rumah sederhana di tengahnya. Sebuah papan tergantung di sebelah pintu bertuliskan 'Pondok Pesantren Nurul Bayan'.

"Assalamualaikum." Lirih Gunawan sambil mengetuk pintu. Rumah gebyok sederhana itu tampak sepi. Rahma sendiri kebingungan, dimana letak pondoknya. Sementara Silvy, sedari tadi saat masih di rumah Gunawan, terus menyikut bahu Rahma.

"Waalaikum salam. Oh, Pak Gun." Seorang lelaki berusia sekitar lima puluhan muncul dari dalam rumah. Sepertinya beliau sedang bersantai di teras belakang saat mendengar salam dari Gunawan.

"Iya, Pak Yai Khoirun." Gunawan mencium takzim tangan lelaki tua itu.

Mereka disambut dengan acara makan-makan sambil mengobrol ringan. Hingga seorang gadis melangkah masuk, dengan tak acuhnya, melewati tamu-tamu itu.

"Itu putri saya. Biasanya kalo lari ke rumah, pasti habis kena marah pengurus." Yai Khoirun tertawa renyah, diikuti oleh yang lain. Bima hanya tersenyum, kemudian kembali dengan wajah datarnya.

Menjelang maghrib. Suara murottal sudah terdengar dari speaker masjid pondok. Gunawan dan yang lain juga sudah hendak pamit, menitipkan Bima pada Yai Khoirun.

"Sekali lagi, saya titip anak saya di sini, Pak Yai. Terserah seperti apa metode anda, yang saya harapkan adalah keberkahan ilmu buat Bima." Ucap Gunawan sebelum pamit. Sementara Bima, dia masih kebingungan. Kapan tes masuknya dimulai?

Mobil Gunawan mulai melangkah pelan, keluar gerbang pondok. Bima hanya menatap pantat mobil yang perlahan hilang ditelan jarak.

"BIM, RAHMA SUKA KAMU!!!" Suara itu membuatnya terbelalak, melihat kepala Silvy yang keluar dari jendela mobil sambil melambaikan tangan.

 Back With Me, Ustadzah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang