Candaan Takdir

383 6 0
                                    

Suara isakan terus terdengar sejak semalam. Rahma, sejak kembali dari acara belanja bersama Bima dan Nadya, sibuk menjinakkan emosi teman se kontrakannya itu. Silvy, wanita mungil yang saat ini memeluk lututnya sendiri dengan sehelai tissue yang dipegang erat-erat. Ini adalah pertama kalinya Rahma melihat Silvy menangis, selama tinggal bersama 5 semester.

"Sil, itu masih ada sarapan. Aku mau pergi dulu." Rahma berdiri di ambang pintu kamar Silvy, dengan gamis terusan berwarna coklat susu bermotiv putih, dan tas hitam kecil yang tergantung di pundaknya.

"Mau nitip?" Tawar Rahma, yang masih menahan langkahnya untuk berlalu. Silvy hanya menggelengkan lemas, kepalanya.

Deruan mesin mobil terdengar mendengung di halaman kontrakan mereka. Rahma hafal betul dengan suara mobil ini. Dengungan dalam, yang meraum kencang ketika pedal gas ditancap. Bagai seorang pendiam yang penuh kejutan, diamnya penuh wibawa, seruannya pertanda bahaya. Mobil yang 'sangat Bima'.

Rahma disambut dengan wajah datar Bima saat baru saja dua duduk di jok sebelah Bima. Rahma sedikit kaget saat melihat Bima yang biasanya tampak urakan, kali ini terlihat lebih rapi dengan rambut yang tersisir searah ke kanan. Sorot mata yang tetap sama, namun menjadi anggun di mata Rahma ketika melihat baju gamis lelaki kekinian berwarna putih pucat dengan garis-garis berwarna coklat di tubuh bagian kanannya. Dipadu dengan celana kreem membuat Bima terlihat seperti biskuit berselai di mata Rahma.

Mobil mereka melaju, membelah jalanan pukul sembilan yang terbilang lengang. Rahma berkali-kali mencuri pandang dari tempatnya duduk, atau melihat pantulan Bima dari kaca jendela sebelahnya. Jujur saja, hati Rahma berdegup kencang.

Bima memperlambat laju mobilnya saat memasuki halaman rumah dengan tulisan 'Titipan Kuasa' di sebelah pintunya. Rumah itu tampak sangat ramai. Anak-anak kecil berbagai usia, duduk bergerombol, mendengarkan seorang Pria yang berdiri di depan mereka. Pria dengan pakaian kaos oblong berwarna putih polos, dengan sarung kotak-kotak.

Gunawan melambaikan tangannya pada Rahma dan Bima yang baru sampai, meminta mereka duduk di sebelahnya. Nadya dan Ana tampak sibuk bermain dengan anak-anak perempuan di sisi lain ruangan.

"Berarti ini Bima, ya? Sama istrinya?" Pria yang tadi berbicara di depan anak-anak, ikut berkumpul dengan Gunawan. Rahma terbelalak, cepat-cepat meluruskan sambil tersenyum bingung.

"Owalah, tak kira suami-istri. Bajunya samaan soalnya." Kekeh Pria itu.

"Bim, ini Pak Datuk Wahdani. Pemilik panti asuhan ini, sekaligus guru ngaji di masjid desa." Gunawan memperkenalkan pria tua namun tampak segar itu.

"Jadi, kapan kalian hendak menikah?" Wahdani menatap Bima dan Rahma bergantian, membuat mereka berdua kebingungan. Wahdani terkekeh. Sial, masih saja, batin Rahma sambil membuang wajahnya, menyembunyikan rona merah dari Bima.

Acara hari ini cukup menyenangkan bagi anak-anak panti. Rahma, dengan bahagianya, mengajak anak-anak panti bermain dan bernyanyi. Persis sekali seperti guru TK yang sedang menjaga anak-anak orang lain. Sementara Bima, hanya memandangi Rahma dari jauh sambil tersenyum.

"Kenapa?" Seorang bocah menghampiri Rahma. Bocah itu, mungkin berusia belasan tahun, membisikkan sesuatu ke telinga Rahma yang tertutup hijab.

"Oh, membaca puisi. Siapa aja yang mau baca?" Tanya Rahma dengan suaranya yang sedikit lantang, membuat perhatian seisi ruangan tertuju padanya. Banyak sekali anak-anak panti yang mengangkat tangan. Rahma menunjuk salah satu dari mereka. Lelaki kecil berwajah lugu, dengan ulasan senyum yang seperti tinta spidol permanen. Tak hilang-hilang.

"Aku dan Kakakku. Karya Kakakku." Bocah itu terdiam sejenak, mengambil nafas dalam. Sebelum kembali membuka mulutnya.

Aku terlahir dari air mata
Kakakku setelahnya
Aku terlahir dengan sambutan
Kakakku setelahnya
Aku meminta senyum dan tawa
Kakakku setelahnya

Tak hanya Rahma, Bima pun tercengang. Sedangkan Nadya terdiam, karena tak paham. Mungkinkah puisi seperti ini ditulis bocah usia belasan tahun? Rahma, Bima, bahkan Gunawan, memiliki pertanyaan yang sama. Ini terlalu dalam untuk bocah seperti mereka.

Aku dibuang oleh buai bunga bangkai
Kakakku menahannya
Pipi merah, wajah marah
Hati gundah, mulut bersumpah serapah

Kakakku mengenang diantara nafasnya
Mata teduh yang dinikmati setan adalah matanya
Hati lembut yang diamplas malaikat adalah hatinya
Dengungan rindu bernada sendu adalah suaranya.
Sekian.

Bocah itu menundukkan tubuhnya, memberi hormat pada Rahma sebelum kembali ke tempat duduknya. Dia mendapat tepuk tangan yang sangat meriah.

"Ada lagi?" Rahma melihat, masih banyak anak mengangkat tangan mereka. Rahma menunjuk salah satu, wanita imut dengan senyum bahagia yang dia pamerkan.

"Putri tidur. Karya Putri Sendiri." Suara kecilnya terdengar imut dan menggemaskan. Rahma menanti, puisi seperti apa yang akan dipamerkan bocah ini.

"Putri! Bangun!
Seru Datuk tiap pagi
Putri! Pulang! Main terus, ga mau makan!
Seru Datuk tiap selesai sholat dzuhur.

Putri! Tidur!
Seru Datuk sambil terbatuk-batuk
Asap rokoknya yang perih pas sampai mata, membuat putri mengantuk.

Putri! Tidur!
Datuk adalah kesayangan putri
Marahnya bukan marah
Air matanya jujur
Puti sayang Datuk."

Bocah itu kembali lagi ke tempat duduknya. Sepertinya Wahdani berhasil merawat mereka dengan baik, dengan kasih sayang bak seorang Ayah pada anaknya.

"Ayo, terakhir. Siapa yang mau maju?" Rahma kali ini sambil berjalan di hadapan mereka, menyapukan pandangannya. Sebuah tangan kecil, bergetar terangkat di antara tangan-tangan yang lain.

"Kamu, yang pake baju kuning." Tunjuk Rahma pada pemilik tangan yang bergetar itu. Rahma sedikit kaget saat melihat teman-teman bocah itu membantunya berdiri. Bocah berkulit coklat dengan tubuh yang terlihat seperti tulang belulang terbungkus kulit itu menatap wajah kawan-kawannya, menghadap mereka.

"Pelataran surga siang itu." Rahma mengernyitkan dahinya, seperti bergidik ngeri dengan judul itu.

"Aku melangkah tersenyum saat seorang wanita menjemputku.
Wanita cantik dengan kulit putih susu dan aroma zaitun dari keringatnya.
Aku melangkah tersenyum kala itu
Hingga wanita itu menunjukkanku secarik kertas.
Aku melangkah tersenyum.
Namun pudar saat terdorong keluar.
Menjadi tangis sedu tiada henti saban hari." Bocah itu kembali ke tempat duduknya dengan tertatih.

"Baik, udah cukup. Sekarang Kakak mau bagi-bagi hadiah." Bima mengangkat beberapa bingkisan ke belakang Rahma.

"Kak, itu suaminya?" Celetuk salah satu dari mereka. Ternyata sama saja, Rahma hanya tersenyum.

___NTG___

"Tenang, Vy. Ada aku kok." Lelaki itu menarik kepala Silvy ke dalam pelukannya. Silvy yang masih sesenggukan perlahan tenang, meski suaranya masih parau.

"Makasih ya, Kak." Silvy melingkarkan tangannya di perut lelaki berwajah tampan itu. Lelaki yang tersenyum cabul sambil mengelus kepala wanita dalam dekapannya.

"Kakak kenapa baik banget, sih?" Lirih Silvy, yang entah kenapa bisa terbuai hanya dengan elusan di kepalanya.

 Back With Me, Ustadzah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang