♟ bab 01 ♟

7 2 0
                                    

Hari ini hari pertama masuk sekolah setelah liburan semester. Bagi Daniya, masuk kembali ke sekolah merupakan hal terburuk yang akan ia dapat. Tak ada yang menarik, di sekolah maupun di rumah. Daniya, dia hanya merasa hampa di dunia.

Gadis dengan rambut ekor kuda itu menggenggam erat tali ranselnya dan menghela napas berat. Ini tahun keduanya di sekolah ini, semester keempat—kelas sebelas semester dua.

Daniya masuk ke kelas dan menatap satu persatu bangku. Matanya menyipit ketika beberapa temannya mengerubungi papan pengumuman kelas di dinding belakang seperti semut mengerubungi gula. Daniya maju ke sana, ikut membaca.

Pembagian tempat duduk.

Matanya mencari nama sendiri. Daniya terfokus pada namanya yang paling akhir, paling ujung, paling pojok. Daniya tertegun. Ia yakin, namanya pasti diingat terakhir oleh wali kelas mereka, sehingga namanya ditaruh paling akhir.

Daniya melihat nama yang menjadi teman duduknya.

Ardito Arkanza — Daniya Larasati.

Ardito. Dito.

Daniya menatap tempat duduk yang paling pojok, masih kosong. Ia duduk di kursi tersebut, menatap lurus ke depan.

"Kenapa pas masuk semester dua gini baru dibagi tempat duduk, sih." Daniya bergumam pelan.

Matanya menangkap sosok yang baru masuk ke kelas. Ada empat orang. Mereka langsung heboh ketika masuk kelas.

"Eh, ada pembagian tempat duduk tau. Baru dikasih tadi sama Bu Indah. Kata Bu Indah enggak boleh protes, enggak boleh rubah-rubah!"

"Masa iya?" Doni, cowok kacamata yang baru masuk ke kelas bersama tiga teman lainnya itu menanggapi informasi yang diberikan si ketua kelas, Alisa.

Daniya tentu tau empat cowok yang sudah saling bersahabat dari kelas sepuluh itu. Uhm, Daniya pernah dengar, sih, mereka bersahabat dari SMP. Ah, Daniya menggeleng pelan.

"Daniya? Gue duduk sama Daniya?" Daniya langsung panik ketika mendengar namanya disebut. "Oh, di sini, yaa. Okay, deh." Daniya mendongak ketika ada suara Dito di dekatnya. Dito duduk di samping Daniya lalu tersenyum. "Hai, Daniya."

"Hai ...." Sangat pelan. Suara Daniya sangat pelan.

Tak ada suara lagi karena setelah menyapa Daniya dan meletakkan tasnya, ia pergi ke teman-temannya lagi.

Daniya menatap tiga cowok yang merupakan teman Dito—Alvaro, Doni, dan Kevin.

Daniya meneguk salivanya.

Welcome, kehidupan baru.

Duduk sebangku dengan Ardito tak pernah ada di pikirannya.

"Daniya, lo punya pulpen dua nggak?"

"Daniya, pinjem catatan lo, ya."

"Daniya, lo nyatet nggak?"

"Daniya, lo tau rumus yang ini?"

"Daniya, tugas lo udah?"

Sudah dua minggu Daniya dan Dito duduk sebangku, dan kata-kata seperti itu sudah Daniya hafal. Dito pasti akan menanyakan hal-hal kecil seperti itu.

"Daniya, lo catatin yang di papan tulis, yaa. Entar gue pinjam."

Seperti sekarang. Sekarang sedang pelajaran kimia dan ada catatan penjelasan soal kimia di depan sana yang sudah ditulis oleh Pak Theo—guru kimia—di papan tulis.

Daniya mengangguk pelan lalu mencatat. Catatannya akan selalu berakhir di tangan Dito. Selalu seperti itu.

Daniya masih diam seperti biasa. Tak ada percakapan-percakapan basa-basi yang ia lakukan dengan Dito.

Selain takut memulai, ia juga tak tau harus mulai darimana. She sucks at communication.

"Lo lagi nyatet, kan, Daniya?"

"Iya." Daniya mengangguk dan terus mencatat penjelasan soal.

Daniya tidak suka hal ini. Dia tidak suka jawabannya sendiri yang pasif. Dia tidak suka akan jawabannya sendiri yang mematikan obrolan.

Kadang, Dito bercerita soal teman-temannya yang menyebalkan, bercerita soal mereka suka bermain bola di lapangan samping rumah Doni.

"Anjing, lo bisa diem enggak sih?" Doni, yang ada di depan mereka menegur Dito. Doni duduk di depan mereka, sebangku dengan Alisa, ketua kelas.

"Iya, nih. Dito dari tadi nyebut-nyebut nama Daniyaaa mulu." Alisa sambil mencatat, menyebut nama Daniya. Daniya hanya menunduk dan terus mencatat.

"Emang kenapa? Iri lo enggak disebut namanya sama Doni?"

"Iri sama lo? Hah, mendingan gue iri sama si Rafathar, masih kecil udah jadi orang kaya." Alisa menggeleng.

"Dua bangku paling samping, Alisa, diskusi apa kalian?" Pak Theo melirik pada Alisa, Doni, Dito, dan Daniya. "Kerjakan soal di halaman berikutnya. Kalian berempat." Pak Theo menunjuk pada mereka berempat dengan spidol di tangannya.

"Kenapa juga kalian tadi nyebut-nyebut Rafathar, hah? Dia itu keponakan saya, mau saya tuntut kalian?" ucap Pak Theo membuat seisi kelas tertawa. Ternyata, ucapan Alisa tadi didengar oleh Pak Theo.

"Yaelah, Pak. Siapa tau kan bisa ikutan kaya, ketularan kayanya Rafathar." Dito menjawab sambil memberikan cengirannya. "Emang bapak enggak mau kaya kayak Rafathar?"

"Ya, tentu saja mau."

"Jadi kerjain enggak, nih, Pak?" tanya Doni.

Sebelum Pak Theo mengangguk, Dito terlebih dulu menyela. "Kalau kami enggak kerjain, nanti kami doain bapak jadi kaya seperti Rafathar, Pak."

"Amin." Pak Theo menjawab dan melanjutkan penjelasannya. Tak memberi tahu atau mengonfirmasi kalau mereka jadi mengerjakan soalnya atau tidak.



tbc.

Dito:

Terima kasih sudah membaca cerita ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Silakan lanjut jika kamu suka, tapi aku yakin kamu emang bakalan suka, sih, hehe.


salam sayang,
ilaa.

LARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang