♟bab 06♟

4 0 0
                                    

Daniya pulang ke rumah dengan suasana hati yang buruk seetelah dikatai miskin oleh Regina di cafe tadi. Besok apa lagi? Ia bertanya-tanya dalam hatinya tentang apa yang akan terjadi besok.

Regina, Kinan, dan yang lainnya tahu bahwa ia bekerja di cafe. Sejujurnya, itu bukan suatu hal yang memalukan. Sangat jelas, bukan. Tetapi, yang tak Daniya mengerti adalah pemikiran manusia-manusia seperti Kinan dan Regina.

Memangnya kenapa kalau dia miskin? Apakah menganggu kedamaian dunia mereka?

Daniya berdecak sebal dan masuk ke rumah dengan wajah tertekuk. Ia membuka pintu lebar dan mendapati ayahnya sedang meembentak ibunya.

Atensi mereka teralihkan kepada Daniya yang seakan membeku di depan pintu. Daniya tak tau harus beralasan apa lagi sekarang. Tak mungkin ia memberitahu kepada mereka kalau ia bekerja.

"Ini lagi, balik malam terus. Jalan sama cowok siapa, sih? Bawa ke sini biar gue nikahin lo sama dia." Daniya terdiam ketika ayahnya maju mendekatinya. "Anak-emak sama aja, sama-sama mata cowok!" Daniya bisa mencium bau alkohol yang menyengat seiring dengan ucapan ayahnya yang mengiris hati.

"Heh, itu anak lo, makanya gitu. Nurun dari bapaknya, kagak betah di rumah, sukanya kelayapan teruss!" Daniya meneguk salivanya. Ia tau dan sadar, ia salah.

"Lo yang didik dia jadi cewek kagak bener. Coba kalau gue yang didik dia, jadi cewek bae-bae udah."

"Yaudah, makanya kenapa enggak dari dia kecil aja lo ngedidiknya." Ibu Daniya menepuk meja dengan keras.

Ayahnya kembali menatap Daniya, memperhatikan dari atas sampai bawah. Daniya hanya diam, meremas ranselnya erat.

"Dari mana lo?" Ayahnya bertanya lagi.

Daniya menghela napas berat. "Nia ... kerja." Akhirnya, Daniya memutuskan untuk berkata jujur saja, daripada setiap hari dituduh jalan dengan laki-laki terus—ia bahkan tak dekat dengan laki-laki manapun.

Ayahnya mengerutkan kening heran. "Kerja apa lo? Lo kira gue enggak bisa ngasih lo duit sampai lo kerja segala?"

"Ya, emang bener, kan?" Terkutuklah mulut Daniya. Sesaat setelah tanggapan dari Daniya, tangan ayahnya bersarang di pipi kanannya—bekas tamparan Regina tadi. Ayahnya menamparnya—lagi.

"Anjing," gumam Daniya, sangat pelan. Ia mengusap-usap pipinya dan menatap ayah dan ibunya secara bergantian.

"Kenapa lo sukanya main tangan mulu, sih. Jangan tampar anak gue lagi!"

Daniya tersenyum. Ia bisa gila kalau hidup di sini terus. Daniya melirik ke kamarnya dan Naya, tetapi dia memilih keluar, tak berniat masuk ke kamar.

Daniya menutup pintu depan dengan kasar, berjalan tanpa arah entah hendak ke mana. Ia masih mendengar teriakan dari ayahnya, menyuruh pulang.

Hari ini benar-benar sial. Ia ditampar dua kali. Dua kali, di pipi yang sama—pipi kanannya—yang sekarang sangat nyeri. Daniya mengumpat seiring berjalan entah ke mana.

Daniya berhenti di kos Nando—tujuan pertamnya saat meninggalkan rumah—tetapi, yang ia dapati adalah kerumuman para cowok yang sedang mabuk, di sana juga ada Nando.

"Eh, Do, adek lo." Daniya bisa mendengar bisik-bisik dari teman-teman Nando yang sudah hilang setengah kesadarannya.

Nando mengernyit kala melihat Daniya, dengan ransel di punggungnya dan berdiri menatap mereka—dengan raut wajah bingung.

"Ngapain lo di sini? Kabur dari rumah lo?" tanya Nando. Nando berjalan mendekati Daniya yang masih berdiri di tempat, sesekali mengerutkan hidungnya ketika mencium bau alkohol ketika abangnya berbicara.

LARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang