Rumah.
Satu dari sekian hal yang Daniya benci di dunia.
Daniya mengehela napas berat lalu masuk ke dalam, mendapati adiknya yang sedang duduk santai di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Namanya Naya.
Daniya masih berdiri di depan pintu, menatap lurus—seakan mencari sesuatu. Daniya menutup matanya ketika mendengar suara ribut dari dapur, seperti barang dibanting.
"Udah dibilangin lagi enggak ada duit!"
"Tapi Nando butuh duit, Bu!"
"Duit duit duit, minta sama bapak lo sana!"
Daniya memejamkan matanya sekali lagi lantas membuka. Ia menggenggam erat tali ranselnya, lalu masuk ke dalam kamar, mengabaikan Naya yang duduk di sofa, mencoba menulikan suara dari dalam. Nando, abangnya, pasti berulah lagi.
"Kak, lo mau ke kemar?" Daniya berhenti ketika Naya bersuara. Dari tadi anak perempuan berseragam SMP itu diam saja, fokus pada ponsel lalu tersenyum tanpa sebab.
Daniya mengangguk.
"Ikut." Daniya hanya mengendikan bahunya dan masuk ke kamar—kamarnya dan Naya—disusul Naya.
"Dari tadi abang datang terus ngamuk-ngamuk. Dia minta duit," jelas Naya tanpa diminta. Daniya meneguk ludahnya susah payah lantas membuka kancing seragamnya. "Gue juga mau minta duit, Kak."
Daniya membuang seragamnya ke tempat tidur dan mendelik pada Naya. "Lo sadar kan waktu ngomong itu?" tanya Daniya dijawab anggukan Naya. Daniya mengerjap melihat adiknya yang mengangguk. "Buat apa?" tanya Daniya sekali lagi.
"Teman-teman gue ngajak keluar. Lo ada duit enggak, Kak? Seratus, deh." Daniya tak bisa untuk tak tertawa—tertawa miris—mendengar ucapan Naya.
Daniya mengambil kaos dan memakainya. "Boro-boro seratus. Seribu aja enggak ada. Minta sama ibu aja kalau lo berani." Daniya kembali mengambil ransel dan keluar. Ia pergi ke cafe, bekerja. Hanya Naya yang tau bahwa ia bekerja. Selain itu, tak ada yang tau. "Jangan kebanyakan keluar sama temen-temen. Ingat, kita orang susah."
"Ah, enggak asyik lo, Kak. Tau apa lo, temen aja enggak punya."
Daniya keluar dan menutup pintu kamarnya dengan kasar, tak menjawab ucapan Naya. Harusnya tadi ia tak ke sini dan langsung ke cafe tempat ia bekerja.
"Heh, nutup pintu yang bener! Enggak pernah diajarin sopan santun sama orang tua lo, ya!" Daniya terkekeh miris. Pasalnya, yang mengatakan itu adalah ibunya, orang tuanya. Berarti, dia tidak mengajarkan sopan santun kepada Daniya. "Keluar terus lo, enggak usah balik sekalian. Jalan sama cowok terus. Kalian semua sama aja. Udah turunan dari bapak emang susah!"
Daniya mencoba menjadi tuli sesaat, berusaha tak mendengar semua omongan ibunya barusan. Berjalan dengan langkah cepat, Daniya pergi dari rumah ke cafe. Huh, harusnya ia pergi jauh sekalian.
"Heh, Nia, pergi ke mana lo!" Daniya berhenti saat mendengar suaranya dipanggil. Tangannya tertahan. "Lo mau ke mana?"
"Belajar kelompok," jawab Daniya berbohong. Matanya ia alihkan ke lain arah, tak mau menatap Nando, abangnya.
"Bagi duit!" Nando mengulurkan tangannya ke depan Daniya, sementara Daniya hanya menaikkan alisnya bingung.
"Lo pikir gue enggak tau lo kerja?"
Daniya meneguk salivanya dan mendongak menatap wajah Nando. "Apa? Lo enggak ingat usaha gue buat dapatin beasiswa buat lo? Apa?"
"Bang, Nia enggak ada duit."
"Halah. Ngomong lagi lo! Lo sama aja kek ibu. Pelit." Nando membanting tangan Daniya yang dari tadi ia genggam. "Enggak guna."
Masih tetap diam, Daniya berbalik dan berjalan terus, mengabaikan Nando.
KAMU SEDANG MEMBACA
LARA
Teen FictionHidup Daniya datar-datar saja, malah berat karena masalah keluarganya yang tak pernah habis. Ketika semester baru, dia ditempatkan sebangku dengan Dito, membuat hidupnya yang datar dan berat tadi menjadi nano-nano. Di tahun akhir sekolah, ia merasa...