Chapter 2

158 12 3
                                    

Di salah satu ruang kamar rumah sakit.  Flara bangun dan melihat sekitar, dan matanya terpaku oleh dua manusia tampan yang sedang tidur dalam keadaan tidak nyaman. Samar-samar dia teringat ada yang mengaku mamanya, tapi mengapa dia ngotot sekali? Sekilas ingatan bermunculan saat dia merenung.  Dia berusaha bangun dan memegangi kepalanya. Entah, dia butuh sesuatu untuk menghentikan sakit kepalanya.

Dia meraih gelas di nakas, dan meminumnya.

Jadi? Karlina, itu mamanya? Dan mereka berdua, kakaknya?

Flara mengingat-ingat tapi tidak banyak. Dia tidak kuat dengan sakit kepalanya.

Kedua kakaknya mengerang, dan merubah posisi. Pasti mereka sedang kelelahan.

Flara mencari-cari sesuatu di rak nakasnya, dia berharap mendapati hpnya.

"Mama, ada rapat. Jika perlu apa-apa, panggil nomer ini, mama kasih kamu orang buat jaga kamu. Maaf kalau mama berlebihan, tapi ini hanya sementara sampai kamu sembuh dan mendapat sekolah baru," -SMS dari Karlina.

Flara hanya tersenyum sekilas dan melihat hp barunya, pasti ulah mama.

Tok, tok, tok.

"Mama, masuk," ucap Karlina.

"Kamu udah siuman, sayang," ucap mamanya lirih melihat kedua putranya tidur di sofa.

Flara melihat mamanya sekilas dan acuh. Dia sedikit jengkel karena merasa dipermainkan.

"Maafin mama, ya? Bayangan pertama kali melihat kamu di sini, menghantui mama."

"Mah, cukup. Sana aja, rapat," ucap Flara tanpa ekspresi.

"Maafin, mama, sayang. Kamu jangan begini sama mama. Aku tahu, mama salah, tapi jangan benci mama. Mama akan melakukan apapun yang kamu mau. Apa, apa? Kamu mau mama melakukan apa?"

"Nggak ada."

"Sayang," lirih Karlina dan mulai menangis.

Flara mencopot selang infus dan turun dari ranjang. Dia benar-benar muak.

"Oke, mama di sini aja. Aku yang pergi, lagian tersiksa lebih enak daripada melihat sandiwara mama. Mama ngga perlu mencampuri kehidupanku. Mama urusi saja perusahaan."

Flara berjalan sambil berpegangan seadanya menuju pintu kamar.

Karlina berusaha mencegah.

"Sayang, kamu masih sakit."

"AAAAAAAAAA, TOLONG HENTIKAN. AKU NGGAK MAU SAMA MAMA. TOLONG MENJAUH DARI AKU. SIAPA SAJA TOLONG AKU," teriak Flara dengan keras.

Gibran dan Hasan yang kaget terbangun, melihat adiknya frustasi dan mama yang sedikit menjauh.

Gibran membawa mamanya keluar dan Hasan menenangkan Flara.

"Kakak, tolong jauhkan mama dariku. Aku merasa hatiku hancur berkeping-keping dan hidupku runtuh. Aku nggak bisa pura-pura lagi kak. Aku nggak kuat, sakit kak," lirih Flara dengan terisak.

Hasan menenangkan Flara, sesekali memberikan wejangan. Namun, Flara memberontak. Akhirnya Hasan, menyerah.

Gibran datang ke kamar Flara dan menarik tubuhnya dari pelukan Hasan.

Plakkk.

Gibran menampar pipi Flara keras dengan emosi membara.

"Lo kira ini lelucon, hah?"

Deg.

Bentakan pertama kali dalam hidup Flara, Hasan terkejut, dan berusaha melerai. Namun, menepisnya dengan kasar.

"Lo kira, lo doang yang menderita? Lo nggak kasihan sama mama? Mama lebih menderita. Lo cuma anak umur 10 tahun sedangkan mama udah 22 tahun hidup bersama," jelas Gibran.

Flara melihat Gibran disertai air mata yang penuh arti, Gibran melihat sorot mata itu.

Gibran pergi, sebelum dia melakukan hal-hal yang tidak terduga.

Flara ambruk, bukan tidak kuasa menahan tubuhnya, tapi kelakuannya. Hasan yang bingung memilih pergi.

+++

Keesokan harinya. Saat Flara bangun, dia melihat kedua kakaknya duduk di sofa. Hasan bolos, dan Gibran mungkin bekerja lewat laptopnya.

"Kak, kenapa nggak sekolah?"

"Gue takut lo digampar lagi sama kak Gibran," ujar Hasan dan melihat Gibran bermuka datar.

"Lo mau makan apa?" tanya Gibran tetap fokus pada layar laptop.

Hasan menggeliat senang, "pizza!"

Pertanyaan itu sebetulnya untuk Flara.

"Lo?" tanya Gibran dan menatap Flara.

"2 porsi mie ayam ada pangsitnya, sambelnya banyakin. Pengen ayam bakar juga. Roti bakar selainya anggur, sama es teh manis, kak," ucap Flara.

"Buset, berapa hari neng, nggak makan," ejek Hasan.

"Apaan sih, kak. Itu kan mudah didapat, pengen banget. Mie ayamnya tapi yang dekat sekolah kakak, enak. Ayam bakarnya di segitiga. Roti bakarnya yang enak di ujung rumah kita. Es teh manisnya di mie ayam aja," ucap Flara bersemangat menjelaskan detailnya.

"Udah?" tanya Gibran entah kepada siapa.

"Udah," jawab Flara.

Gibran mengeluarkan sejumlah uang dan memberikan kepada Hasan.

"Lo tahu semua tempatnya, kan?" tanya Gibran sambil menyodorkan uang.

"Kakak juga tahu kali," ucap Hasan tak terima.

"Gue kerja," kata Gibran.

"Gue kan nggak sekolah," bantah Hasan tetap tidak mau pergi, "kan ada orang suruhan mama,"

"Lama, lagian lo yang tahu. Pakai mobil kakak, sana," kata Gibran, "salah siapa bolos sekolah."

"Pakai motor aja, jakarta macet," ucap Hasan pergi meninggalkan ruang rawat dengan wajah agak sebal.

Gibran dan Flara tidak saling bicara. Sepi untuk sekian menit.

Akhirnya Flara menegur, "kak?"

"Mama di luar negeri. Kakak nggak akan minta maaf, perbuatan lo salah. Selesai keluar rumah sakit, lo sekolah sama Hasan," ucap Gibran.

Flara terdiam dan hening seterusnya.

FlaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang