Chapter 7

21 4 0
                                    

Gibran lari ke dalam rumah, butuh beberapa waktu sampai dia bisa ditenangkan.

"Ra, kamu kenapa?" tanya Gibran memburu, "Seno ngapain kamu?"

Flara hanya menangis, tak sanggup mengatakan yang terjadi. Pikiran aneh menyerangnya.

Gibran tersentak sendiri, jatuh.

"Apa dia telah mengambil....?"

Semua laki-laki terkejut, dan berusaha menenangkan Gibran.

Dito turut menenangkan Gibran, "Bran, gue tahu lo, khawatir. Beri jeda adek lo, mungkin dia masih syok."

"Gue minta izin, nganter dia ke kamar."

Gibran hanya diam, pandangannya kosong.

"Kakak bawa lo ke kamar ya?"

Flara mengangguk.

Dito membopong Flara, berjuta pertanyaan juga menyerangnya tapi dia tahan. Flara tipe orang periang, pendiam, dia tak akan mau menjawabnya saat ini.

Sesampainya di kamar.

"Ra, coba lo ngomong sama kakak, apa yang terjadi nanti gue sampein ke abang lo, percaya sama abang."

Flara menarik tangan Dito memintanya duduk.

"Tadi pagi aku joging, ngga sengaja ketemu kak Seno, terus kita joging bareng. Habis itu, aku ingat mau latihan basket, kak Seno mau ikut, aku izinin. Sesampainya di sana, perutku benar-benar sakit, aku lupa waktunya datang bulan. Kak Seno membawaku ke apartemen karena aku ketiduran, pas pulang ke rumah aku turun dari mobil kakiku terkilir, sampai saat ini sakitnya masih kerasa."

"Tapi Seno nggak berbuat macam-macam kan?"

"Macam-macam yang dimaksud kakak apa? Kak Seno cuma bantu tadi."

"Oke."

"Kak, tapi kakak kenapa pukul kak Seno, dia ngga salah."

"Ra, laki-laki itu kalau bawa perempuan pasti izin sama keluarganya, walaupun mulanginnya telat atau gimana. Gue punya adik perempuan, dan gue ngga akan biarin hal serupa terjadi sama adek gue."

Flara diam, benar juga yang dikatakan Dito. Betapa abangnya sudah terpukul atas tindakannya.

"Apa bang Gibran bakal maafin aku?"

"Ra, gue tahu lo belum terbiasa tinggal bersama abang lo, tapi percayalah bahwa mereka benar-benar sayang sama lo. Gue bisa lihat kemanapun lo pergi, abang lo selalu memprioritaskan lo. Asal lo tahu, Gibran dan Hasan seharusnya tadi pagi pergi buat balapan yang hadiahnya nggak main, itu juga demi lo."

Flara menangis, "aku salah kak."

"Gue akan bicara sama abang lo, gue nggak bisa jamin apa-apa."

Dito pergi, kini Flara sendiri. Dia merasa was-was, bagaimana dia minta maaf, bayangan kekhawatiran abangnya nampak jelas.

15 menit berlalu tanpa Flara melakukan apa-apa, lalu Flara berjalan perlahan keluar kamar. Niatnya saat ini adalah minta maaf. Dia salah dan harus menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia berjalan sambil menyeret kakinya yang terkilir.

Flara membuka pintu, dan semuanya gelap. Dia pingsan.

Ada yang menangkapnya dan sayup suara yang didengar adalah suara Gibran.

+++

Paginya. Flara bangun dan dilihatnya ada Gibran dan Hasan dikamarnya, tapi agak jauh. Mereka tidur di sofa. Tapi ini bukan kamarnya, ini rumah sakit, kakinya juga sudah diperban.

Flara menangis lagi.

Dia turun dari ranjang perlahan, sambil memegang benda apa saja yang bisa membuatnya berdiri.

Gibran sayup-sayup bangun, dan melihat adeknya berjalan kesusahan.

Gibran segera membantu Flara, "dek, mau kemana?"

Flara melihat tangan Gibran menyentuhnya peduli, sedetik kemudian Flara memeluk erat Gibran.

"Bang, maafin, aku. Maafin, aku bang. Maaf....," ucapnya terus berulang kali.

Gibran tersentuh, mengusap punggung Flara perlahan.

"Jangan diulangi lagi dek, abang khawatir...."

"Janji bang, janji...."

+++

Sore hari, sudah boleh pulang. Flara membawa tongkat dikanan dan dikiri. Tidak luput, Gibran dan Hasan siap siaga dibelakangnya.

Flara berusaha keras berjalan lancar.

"Aku dengar abang mau pergi sama teman-teman," ucap Flara ngawur.

Dia merasa nggak enak hati, karena abangnya selalu menjaganya, sampai lupa mereka juga mempunyai kesibukan.

"Iya, tapi nggak jadi," ucap Hasan, "lagipula itu tidak penting."

"Abang pergi aja, ada bi Asri di sini. Aku nggak akan kemana-mana, palingan didepan rumah doang. Abang pergi aja, besok kan kita sekolah lagi. Tapi abang pulangnya jangan malem-malem."

"Suka ngatur ya, sekarang," kata Gibran mengacak rambut Flara.

"Ih, nggak gitu," sangkal Flara.

"Iya, ya, abang pergi. Boleh kan?" tanya Gibran.

"Emang kamu nggak papa sendirian?" tanya Hasan khawatir.

"Nggak papa, abang-abangku, tapi jangan lupa bawain aku makanan," ucap Flara sambil meringis.

"Siap cintaku," jawab Hasan.

Setelah sampai di rumah tamu, Flara sama bi Asri menonton film dan kedua abangnya pergi keluar. Tentu, abangnya yang menyuruh bi Asri untuk menemaninya.

Gibran sudah memasang cctv di setiap sudut rumah yang bisa dia akses lewat hp. Jadi dia tak akan khawatir.

Kepergian abangnya membuat Flara gembira, sekaligus sedih. Sepi di rumah, bi Asri juga menemani tapi nggak seasik abangnya.

"Bi, aku keluar bentar," ucap Flara memberitahu.

"Kemana non?" tanyanya.

"Di teras rumah," jawabnya.

Flara keluar dari rumah menggunakan tongkat. Jam menunjukkan pukul 8, dia sudah sangat kelaparan.

Bunyi bel berdenting, bibi ke luar, tapi Flara menyuruhnya pergi ke dalam. Flara berjalan menggunakan tongkat dengan gembira, dia senang bisa melatih kakinya berjalan. Butuh waktu beberapa menit, sampai dia sampai digerbang rumah.

Ada seorang laki-laki naik sepeda ninja sambil membawa makanan.

"Siapa?"

"Ini makanan," ucapnya sambil menodongkan sekantung plastik berisikan mika makanan.

"Dari abang?" tanya Flara antusias.

Tapi tidak dijawab oleh orang itu, dia bodoh amat dan membuka gerbang, segerombolan laki-laki langsung menyergapnya. Membekap mulutnya dan membopong tubuh Flara naik ke mobil.

+++

Seno terpukul tergeletak dengan makanan yang sudah amburadul, sayup-sayup Flara dibawa oleh mobil hitam.

FlaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang