06: Saksi

161 18 7
                                    

Napuja menghela nafas, matanya memerah bengkak, dan terasa perih. Dia terus menarik rambutnya kencang, sudah berhari-hari dia menangis tanpa henti, dan hari ini air matanya tak lagi bisa keluar.

Telapak tangannya ia letakkan di atas kain yang membaluti tubuh pria kesayangannya, yang selalu menemaninya dari lahir.

"Abang, kenapa abang pergi ninggalin aku?"

Napuja membuang nafas kasar. Dia masih belum bisa menerima kepergian Kagendra, apalagi hanya karena tertembak oleh mahasiswa sok jagoan yang tak bertanggung jawab.

Hari ini adalah hari di mana Kagendra akan dimakamkan. Air mata yang semula tertahan di dalam mata, kini kembali mengalir dengan deras. Napuja teriak, nangis meraung-raung, meminta agar Kagendra tak dulu dimasukkan ke dalam peti. Namun pemakaman yang terlalu lama di tunda, tidak akan baik untuk mayatnya. Kagendra, harus segera dimakamkan dengan layak.

Fakta bahwa kedua orangtuanya tidak bisa hadir di hari pengantaran terakhir Kagendra hanya karena masalah pekerjaan, membuat Napuja semakin benci dengan manusia.

Seorang pria tua berpenampilan formal memeluk Napuja dengan erat, mengusap punggungnya lembut, mengucapkan sekian banyak kalimat yang menenangkannya.

Napuja tidak pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya, mereka baru bertemu saat Napuja datang ke rumah sakit. Namun dengan baik hatinya, dia sukarela membayar seluruh biaya pemakaman Kagendra.

"Tenanglah nak, saya akan bantu Kagendra dapatkan keadilan. Orang gila itu akan dipenjarakan, secepatnya."

Napuja terbatuk, air matanya membasahi pakaian pria itu, dia mengangguk pelan. "Iya, t-terima kasih banyak. Tapi gimana caranya?"

...

Sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilat berhenti di depan warung milik bundanya Joharta. Joharta yang sedang berjaga pun langsung kebingungan, seketika matanya melebar saat melihat seorang pria keluar dari mobil itu.

"Ayah?"

Lebih terkejut lagi, saat seorang remaja berparas manis, ikut keluar dari pintu mobil bagian belakang.

"Napuja!"

Joharta langsung bangkit dari duduknya, tanpa pikir panjang dia menarik lengan Napuja, mendekapnya ke dalam pelukan hangatnya.

"Napuja, ke mana aja adek? Astaga..."

Pria tinggi yang berdiri di belakang Napuja pun menghela nafas. "Ada ayah mu di sini, kenapa malah anak itu duluan yang disambut?"

Joharta memutar bola mata, dengan lengan kekarnya yang masih menarik erat tubuh Napuja, dia berkata. "Ngapain nyambut orang yang gak tau diri kaya lo. Katanya kerja, tapi lupa sama anak istri, lo gak tau kan selama di sini bunda mau beli kebutuhan rumah aja mikir-mikir? Sedangkan lo? Hidup mewah, gila."

Napuja meregangkan pelukan mereka, dia menggelengkan kepala pelan, mengisyaratkan Joharta untuk tak lagi melanjutkan kalimatnya.

"Mas, Bang Gendra udah ngga ada."

Joharta langsung melotot. "Hah? Kok bisa dek?"

"Ketembak pas di kampus, kemarin ada ribut kan di sana? Om Mahen yang bantuin abang gue, dia bayarin semua, termasuk biaya pemakaman."

Joharta melirik ayahnya dengan tatapan curiga, matanya disipitkan.

"Terus Om Mahen ke sini, karena mau minta tolong satu hal, tapi- lebih tepatnya gue yang mau minta tolong."

"Minta tolong apa, dek?"

Mahendra— ayah dari Joharta, jalan mendekat, duduk di atas kursi panjang, disusul oleh Joharta dan Napuja. Dia menarik nafas dalam sebelum akhirnya berucap.

"Nak, maafin ayah. Kali ini ayah beneran janji gak akan lupa sama kamu dan bunda lagi."

"Gak usah janji, gue gak mau berharap banyak."

"Joharta, ayah tau kamu anak yang cerdas, untuk kali ini, ayo kita bekerja sama? Ini demi Kagendra, demi orang-orang nyawanya hilang karena anak kampus mu itu."

Joharta lagi-lagi menyipitkan mata. "Iya, terus gue harus apa?"

"Ikut ayah ke pengadilan, jadi saksi. Ayah punya pengacara terkenal yang bisa bantu memenjarakan anak itu. Hanya kita yang bisa, nak. Kali ini ayah mau pakai harta ayah untuk melakukan kebaikan."

"Tapi Hugo anak orang kaya, yakin bisa? Jaman sekarang kan apa-apa pakai harta."

Napuja menundukkan kepala, dia menghela nafas, kemudian meletakkan telapak tangannya di atas punggung tangan Joharta.

"Nggapapa kalau Joharta ngga mau, om. Terima kasih banyak udah mau bantuin."

Joharta merapatkan bibirnya sejenak sambil menatap lurus ke bawah. Dia menarik nafas dalam, lalu berkata. "Yaudah boleh. Tapi gue bawa Satya, ya? Dia yang ada di lokasi dari awal kejadian, bahkan dia yang berantem sama Hugo."

"Iya, boleh. Selama beberapa bulan ini, kumpulkan bukti sebanyak mungkin. Digabungkan dengan laporan kasus-kasus sebelumnya, pasti ada kan?"

"Banyak."

Harta Tak Dipuja ; KookvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang