19: Penyesalan

171 12 6
                                    

"Sat, lo gak pengen lihat pas dia dieksekusi? Kapan itu?" tanya Joharta santai. Dia, Napuja, dan Satya sedang duduk santai di kursi salah satu cafe sederhana yang letaknya tak jauh dari pengadilan.

"Gue juga gak tau kapan, pengen sih lihat, tapi gak deh, males."

"Kasihan ya Hugo." kalimat itu tanpa sadar Napuja keluarkan, membuat Satya dan Joharta tersedak kopi. Tersedaknya bersamaan pula.

Napuja yang menyadari kalimat ngawurnya barusan langsung melotot, menggelengkan kepala cepat. "Ngga, maksudku bukan gitu astaga, maaf!"

"Nada mu ngga kedengaran sarkas, aku kaget," kata Joharta, tawanya lepas, disusul oleh tawa canggungnya Napuja. "Gak perlu kasihan adek... dia aja ngga punya rasa kasihan."

Napuja mengangguk tegas. "Tadi refleks, jelek banget refleksnya."

...

Ini hari yang Napuja tunggu-tunggu, dia sudah bisa bernafas dengan bebas di luar rumah sakit, selama ini sudah sangat bosan hanya pemandangan itu-itu saja yang dia nikmati. Terlebih lagi, makanan rumah sakit menurutnya itu kelewat hambar.

Senyum Napuja tak pernah pudar sejak tadi pagi, dia rindu dengan kamar kost sederhananya itu, yang sederhana memang tak pernah gagal untuk bikin nyaman.

Dengan sabar Joharta melipat satu-persatu pakaiannya dan pakaian Napuja, menyusun rapi ke dalam tas mereka masing-masing. Berkali-kali Napuja menawarkan bantuan, tapi terus ditolak oleh Joharta. Alhasil Napuja hanya diam sambil menikmati snack yang Joharta belikan.

Joharta tak memberitau Mahendra bahwa hari ini Napuja sudah boleh pulang, jadi mereka berdua pulang menggunakan taxi yang Joharta pesan sendiri. Jalanan dekat kost an Napuja tak seperti biasanya, kali ini rasanya sangat ramai, banyak kendaraan lalu lalang. Terutama kendaraan besar.

Teman-teman kost Napuja langsung keluar saat mengetahui dia sudah pulang, semuanya tampak gembira, bahkan ada yang menyambutnya dengan minuman segar.

Melihat Napuja begitu bahagia dan dipedulikan orang sekitarnya, rasa khawatir Joharta sedikit mereda. Awalnya dia takut meninggalkan Napuja tinggal sendirian di sini, tapi semuanya berubah saat mengetahui teman-teman Napuja sangat menyayanginya.

Joharta duduk di pojokan, tak ingin mengganggu acara kangen-kangenan Napuja dengan teman di kost nya. Angin hari itu sangat sejuk, membuat Joharta yang sedang melamun matanya mulai terpejam.

Sekitar 10 menit kemudian, teman-teman Napuja mulai masuk ke dalam, kembali fokus dengan kegiatan masing-masing, kebanyakan memang sedang dibuat pusing oleh tugas kampus.

Napuja yang menyadari Joharta sudah tertidur lelap pun langsung tersenyum. Joharta benar-benar lelah, secara fisik dan mental. Banyak hal yang harus dia pikir dan kerjakan.

Napuja memutuskan untuk keliling-keliling di depan kost, sekalian melatih kekuatan otot tangannya, agar tak terus menerus mengandalkan orang untuk berpindah tempat.

Tiba-tiba mata Napuja menemukan tanaman kecil yang ditumbuhi bunga putih di sebrang jalan, dia sangat suka bunga, lebih tepatnya terobsesi dengan bunga. Perlahan dia menggerakkan roda kursinya, menyebrangi jalanan yang kala itu sedang sepi.

Sayangnya Napuja tak sadar, bahwa ada bolongan pada jalan, membuat roda kursinya tersangkut dan tak bisa bergerak. Semula dia tak terlalu panik karena jalanan kosong, ketenangannya langsung hilang saat mendengar bunyi klakson bus dari kejauhan.

Joharta langsung tersentak, terbangun dari tidurnya. "Adek!" sigap dia berlari ke arah Napuja yang lumayan jauh darinya.

Suara klakson yang malah semakin keras dan panjang membuat semuanya panik, bus tersebut sama sekali tak melambat. Berkali-kali Joharta berteriak, meminta supir bus untuk menekan rem, sayangnya kapasitas dari bus yang sangat penuh membuat kendaraan itu sulit untuk dihentikan.

Sekuat tenaga Joharta mengangkat, lalu mendorong kursi roda yang diduduki Napuja, Napuja berhasil sampai di pinggir jalan meski harus terjatuh dari kursi roda. Tapi Joharta, bagian depan bus menabrak kencang lengan Joharta, membuat tubuhnya terpental lumayan jauh.

"Mas Jo!"

Bus itu perlahan mulai melambat, pintu bus terbuka, beberapa penumpang laki-laki melompat dari pintu, membantu Joharta ke pinggir jalan, dan mengangkat Napuja untuk kembali naik ke atas kursi rodanya.

Napuja menangis kencang, penyesalan menghantam dirinya, apalagi saat dia melihat bercak merah pada aspal saat tubuh Joharta diangkat dari jalanan. Tubuh pria itu tampak begitu lemas, tak bergerak.

Dengan tangan bergetar, supir bus itu langsung menelfon pihak rumah sakit. Ada seorang bapak-bapak tua yang mendorong kursi Napuja ke sebrang, untuk menghampiri Joharta.

Semua sangat khawatir kala itu, bahkan ada yang sampai melepas pakaiannya sendiri, kemudian menempelkan kain itu pada kepala Joharta yang terus mengeluarkan darah. Bibir pucat pria itu membuat Napuja semakin tak sanggup menahan tangisnya.

"Mas maafin aku, aku bodoh, bodoh!" Napuja memukul kepalanya sendiri, tapi tangannya langsung ditahan oleh orang yang tadinya membantu dia mendorong kursi. "Mas Jo jangan pergi, jangan tinggalin adek..."

Tangis Napuja mengundang semakin banyak penumpang bus untuk turun, ada seorang wanita middle age menghampirinya, memeluk Napuja erat, lalu mengusap-usap punggungnya.

"Ssstt, tenangin diri mu sendiri nak, mas mu masih sadar kok itu, dia pasti semakin sesak kalau sampai dengar tangismu yang seperti ini."

"Mas Jo berdarah bu... gara-gara aku, semua gara-gara aku?"

"Bukan salah mu, dia sayang dan mau menyelamatkan kamu tadi, jangan salahkan diri sendiri kalau tidak mau mas mu sedih!"

Sirine ambulance mulai terdengar, beramai-ramai mereka mengangkat tubuh Joharta yang sudah lemas ke atas kasur yang dikeluarkan oleh pihak medis.

"Aku ikut! Aku mau ikut, pak!" tak ada yang mendengarkan, Napuja diabaikan. Napuja bisa melihat mata Joharta sedikit terbuka, menatap ke arahnya dengan tatapan kosong. "Kak dokter, Mas Jo masih hidup kan?!"

Kasur itu kembali dimasukkan ke dalam mobil, lalu pintunya ditutup begitu saja. Dada Napuja rasanya sesak, tangisnya tak bisa berhenti. "Kenapa bapak itu ikut tapi aku ngga boleh ikut?! Aku temannya!"

"Tenanglah nak, itu suami saya. Nanti saya minta dia kabarin gimana keadaannya ya? Kamu tau nomor orangtua anak itu tidak? Tenangkan dirimu nak..."

"A-ada di ponsel-" Napuja merogoh saku celananya, mencari kontak Mahendra, lalu memberitau tentang apa yang terjadi sambil menangis kencang.

Tak perlu menunggu lama, Mahendra tiba di depan kost Napuja, membawanya dan seorang wanita yang tadinya menenangkan Napuja ke rumah sakit.

"Joharta udah di bawa ambulance?" tanya Mahendra.

Dijawab oleh wanita itu, "Iya, suami saya juga ikut."

"Om, maafin aku, gara-gara aku Mas Jo jadi kaya gitu, maafin Napuja om..."

Mahendra menarik nafas panjang, dia menggelengkan kepala, pikirannya benar-benar penuh sekarang.

"Om maafin aku..."

"Diam Napuja!"

To Be Continued...

Harta Tak Dipuja ; KookvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang