Joharta . Napuja
...
Pikiran kalut menghantam, membuat kewajiban tak terlalsanakan. Hanya ada sepi yang dirasa dalam ramai, sakit yang dirasa dalam kasih sayang. Bibir Napuja terus menekuk ke bawah, membuat timbul rasa curiga di dalam hati salah satu dosen yang mengajarnya hari itu.
Pukul 20:15, kelas malam telah berakhir 15 menit lalu, tetapi Napuja diminta tinggal oleh dosennya. Pria berkumis bertubuh besar itu mengajaknya bicara 4 mata, membahas tentang perilaku Napuja yang lain dari biasanya.
"Napuja, if you have problem, you have to tell someone. Di jurusan psikologi ini, kita semua saling mendukung, tidak ada yang bakal judge kamu di sini, ya Napuja?"
Napuja mengangguk kaku, senyuman samar ia berikan pada dosennya. "Terima kasih banyak pak, kayanya saya hanya kecapean jadi moodnya agak berantakan. Terima kasih sudah peduli, pak."
Pria itu tersenyum, berdiri dari kursi kecilnya, disusul oleh Napuja. Dia menepuk pundak Napuja lumayan kencang kemudian berkata, "Kamu anak hebat, apapun itu cita-cita mu, saya yakin akan bisa kamu raih."
Mahasiswa baru jurusan psikologi itu meninggalkan gedung kampus dengan ekspresi yang sama, kini digabung dengan helaan nafas kasar. Sedikit lega karena lingkungannya lumayan suportif, itu termasuk salah satu alasan kenapa Napuja memilih jurusan psikologi. Selain lingkungan yang baik, dia juga ingin menyelamatkan banyak orang dari hilang nyawa akibat tak ada yang bisa diajak berbagi cerita.
Menurutnya, sesuka-sukanya manusia terhadap kesendirian, saat masalah melanda, mereka pasti membutuhkan pundak orang lain untuk menjadi tempat bersandar.
...
Kampusnya tidak jauh dari kost tempatnya tinggal, setiap hari dia hanya perlu jalan kaki selama kurang lebih 10 menit untuk tiba di sana.
Napuja merasakan getaran kecil dalam perutnya, refleks dia memegang perut sambil menggerutu. Mengingat sisa uang yang dia punya di dalam dompet membuat nafsu makannya menurun drastis.
"Kalau malam ini gue ngga makan, besok masih hidup ngga ya?" gumamnya. Di tengah kegelapan, pandangan Napuja tertuju pada lampu terang dari sebuah warung kecil. Langsung mengurungkan niat untuk menabung, Napuja langsung melangkahkan kaki ke sana.
Seorang remaja tampan berambut hitam pekat sedang duduk di atas kursi kayu panjang depan warung sambil mengangkat satu kaki. Tangannya memegang ponsel secara horizontal, dengan jari telunjuk dan tengahnya menjepit sebatang rokok.
"Permisi, mas? Gue mau beli mie cup, masih ada?"
Tak ada jawaban dari remaja itu. Napuja menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dia sedikit jinjit, menengok ke dalam warung untuk memastikan apakah ada orang lain di sana. Dia pikir pria itu bukan pemilik warung karena dia sama sekali tidak merespons.
"Maaf mas? Pemilik warungnya di mana ya?"
"Hmm? Gue anaknya," jawabnya, sedikit menengok kemudian kembali fokus pada ponselnya. Terdengar suara game dari sana.
Napuja menghela nafas, memutuskan untuk mencari sendiri makanan yang dia cari, dan menemukannya pada rak agak bawah di pojok kiri. Karena tau pria itu tidak akan menjawabnya, Napuja menyipitkan mata untuk melihat label harga yang sudah tertempel.
Dia merogoh tas, mengeluarkan dompet kecilnya, mencoba mencari uang pas. Setelah 2 menit berlalu, Napuja masih belum berhasil menemukan uang pas di dalam dompetnya. Memang agak berantakan, uang kertas dan logam bercampur di dalam satu dompet, kebayang kan?
Karena merasa pegal, Napuja memutuskan untuk duduk di kursi kayu, tepat di sebelah pria itu. Dengan alis mengkerut, suara uang logam saling bertemu serta musik game dari ponsel menguasai malam yang sunyi itu.
"Ah, dapet!" Napuja memutar bola mata singkat, kemudian meletakkan uang kertas dan logam yang sudah ia kumpulkan. Sengaja dia keluarkan uang pas, karena pria 'sibuk' itu tidak mungkin punya waktu untuk mencari kembalian untuknya.
"Ini uangnya udah pas ya mas, makasih banyak."
Tiba-tiba pria itu meletakkan ponselnya, musik dari sana pun tak lagi terdengar. Dia mengambil uang yang Napuja letakkan di atas kursi, lalu dipindahkan ke atas meja.
"Udah selesai ngegame nya, mas?"
"Iya udah, makasih ya, minumnya gak sekalian bro? Seret ntar."
"Nggapapa, di kost gue ada galon kok, duluan ya mas," ucapnya sambil mengangkat tangan tanda berpamitan.
"Bentar dek-" pria itu berdiri dari duduknya, sambil menghisap batang rokoknya, dia membuka kulkas dan berdiri diam selama beberapa detik. Lalu tangannya meraih teh manis berkemasan botol, dia merapatkan bibir, hanya dikasi celah di bagian samping untuk meniupkan asap romok, kemudian menyodorkan botol itu pada Napuja.
"Buat lo, gratis gak usah bayar."
"Loh kenapa mas? Berapa ini hargnya?"
"Ambil aja, santai."
"Ngga, gue bayar aja, berapa ini harganya?" Napuja hendak meraih tasnya, namun langsung dihentikan.
"Ambil aja dek, astaga," ucapnya sambil tertawa kecil. Napuja akhirnya pasrah, dia menerima botol itu sambil tersenyum tipis. Sebenarnya siapa yang tidak mau minuman gratis? Tapi Napuja adalah pribadi yang tak enakan, makanya dia seperti itu.
"Makasih banyak mas, semoga berkah selalu ya, gue doain warungnya ramai deh."
Dia lagi-lagi tertawa, kali ini sambil menyapu rambut lembutnya ke atas. "Makasih loh doa nya," ucapnya gantung. Sunyi kembali menguasai selama beberapa detik sebelum akhirnya dia melanjutkan kalimatnya. "Kenalin, gue Joharta, lo?"
"Napuja, salam kenal."
"Lo anak kampus depan, dek?"
"Iya, kok tau mas?" jawabnya sambil sedikit merapatkan lubang hidung karena pernafasannya mulai risih dengan asap rokok yang Joharta tiupkan sedaritadi.
"Muka lo, muka anak pinter."
Napuja langsung tersenyum lebar, pujian tak terduga yang datang dari mas-mas penjaga warung berhasil membuat moodnya sedikit membaik.
"Gue juga anak sana, percaya gak lo?"
"Ya percaya, kenapa engga? Gue tebak lo anak IT, atau hukum. Bener kan?"
"Iya, hukum."
Percakapan mengenai kampus membuat Napuja menunda pulangnya selama hampir 10 menit. Merasa hari semakin larut, dia memutuskan untuk pamit untuk yang kedua kalinya.
Langkahnya sudah lumayan jauh dari warung, tiba-tiba terdengar teriakan Joharta menggema dari kejauhan. "Lain kali kalau gak suka asap rokok bilang aja ya dek!"
Napuja menengok sambil tersenyum tanpa menjawab apapun. Perasaan bersalah mulai menyelimutinya, bahkan hingga dia selesai mandi dan mengganti pakaian. Pikirannya dipenuhi oleh kalimat dari Joharta.
"Tadi gue kelihatan risih ya pas sama dia?"
"Memangnya kelihatan kalau gue ngga nyaman?"
"Dia bakal anggap gue orang yang ngga menghargai ngga ya?"Tatapannya kosong, sambil menyeruput mie, dia menggelengkan kepalanya pelan. "Ngga lah, semoga dia ngga mikir jelek-jelek tentang gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harta Tak Dipuja ; Kookv
AcakAwan berubah abu-abu, tumpah sejuta air yang menemani erangan sang Harta yang Tak DiPuja.