"Untuk lebih lanjut mengenai hal itu, Yang Mulia bisa tanyakan langsung pada orang yang lebih akrab dengan adiknya Kagendra."
"Iya, suruh dia ke depan."
Satya menengok ke belakang, dengan segera Joharta bediri dari duduknya, Napuja melemparkan senyuman manis, harap Joharta dapat lebih semangat karena itu.
"Baik, saudara saksi kedua. Saya persilahkan."
...
"Terima kasih atas kesempatannya, Yang Mulia. Sebelumnya saya mau berikan sedikit informasi yang tidak tertera di dalam BAP. Nama adik dari Kagendra adalah Napuja, orangnya ada di sini sekarang." Joharta menengok ke belakang sambil melambaikan tangan pada Napuja. Napuja tersipu malu akibat banyak pasang mata kini mengarah ke dia, termasuk ketua hakim yang mengangguk sekali, tanda menyapa.
"Jadi seperti yang dikatakan oleh saudara saksi pertama, selama ini Kagendra yang menafkahi Napuja, jadi kepergian Kagendra tentunya berpengaruh besar terhadap kehidupan Napuja. Apalagi sekarang Napuja dinyatakan tak bisa berjalan akibat terjadinya sebuah tragedi," jelasnya panjang lebar.
"Tragedi apa yang kamu maksud, dan kapan?"
"Jatuh dari ketinggian, tak lama setelah pemakaman Kagendra, Yang Mulia."
Ketua hakim tampak menyerngitkan dahi tanda meringis. Kepalanya ia anggukkan, lalu tangannya mengangkat sebuah pena, menyoretkan tinta hitam di atas sebuah kertas.
"Jadi itu ada hubungannya dengan kepergian Kagendra ya. Itu sebuah kecelakaan tunggal?"
Sambil mengangguk Joharta menjawab, "Kecelakaan tunggal, Yang Mulia."
"Kenapa bisa sampai terjadi? Apa Saudara Napuja tinggal seorang diri?"
"Napuja tinggal di kost an, Yang Mulia. Terjadi saat Napuja lagi jemur pakaian. Beberapa tahun lalu, Hugo juga pernah melakukan perundungan terhadap mahasiswa lain di kampus, sampai-sampai ada yang melakukan tindakan penghilangan nyawa karena stress." Joharta menjauhkan pengeras suara pada mulutnya untuk mengambi nafas, lalu ia lanjutkan lagi.
"Menurut Pasal 1 angka 16 UU 35 2014, adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, termasuk tindakan kekerasan, dan jelas-jelas Hugo sudah melanggar pasal tersebut, dan sampai saat ini, dia masih bisa bernafas dengan bebas di luar sel, bahkan tanpa rasa bersalah dia mengulangi tindakan kekerasan itu berkali-kali. Sudah banyak nyawa calon penerus bangsa yang tak bersalah hilang begitu saja karena dia. Dengan itu saya mohon dengan sangat untuk keadilannya, Yang Mulia, terima kasih banyak."
Orang-orang yang turut hadir untuk menyaksikan persidangan di hari itu dan mendukung pihak penutut pun menabrakkan kedua telapak tangan mereka yang menimbulkan bunyi tepukan.
Tampak senyuman tipis terbentuk pada bibir ketua hakim, setelah menuliskan sesuatu ke atas kertas, ketua hakim pun ikut menepukkan tangannya.
"Bisa dipastikan kalian berdua adalah anak hukum," ucap ketua hakim disusul senyuman pada bibirnya.
"Hugo juga anak hukum," timpa Satya, bertujuan sarkas.
Sidang hari ini berjalan dengan semestinya, pernyataan yang dilontarkan oleh pengacaranya Hugo kepada hakim berkali-kali berhasil disanggah oleh Dika. Dika merasa sidang kali ini memang lebih ringan dari sebelum-sebelumnya, tentunya karena mereka tak lagi berat sebelah. Keduanya sama-sama menggunakan harta, membuat petinggi tak lagi memandang sebelah mata pada pihak penuntut.
Satu per satu orang mulai meninggalkan ruangan, namun tidak dengan Mahendra, si pengangacara, serta Joharta dan Napuja. Joharta berlutut satu kaki di depan kursi roda Napuja. Tangannya bergerak lincah menautkan tali-tali pada sepatu Napuja.
"Kalian keren banget tadi," pujinya tiba-tiba, Joharta refleks tersenyum lebar.
"Om, katanya dia nanti pengen jadi pengacara juga, udah cocok belum?" tanya Napuja pada Dika.
Dika mengacungkan dua jempolnya. "Mantep. Kamu sama temen mu yang tadi, siapa namanya? Satya kan?" Joharta merespons dengan anggukan pelan. "Nah, kalian punya potensi yang sangat besar. Terutama kamu nak."
Joharta yang diberi pujian bertubi-tubi langsung memerah telinganya. "Nanti kalau kita berhasil, om harus banyak ngajarin gue sih.."
"Ooh? Pasti dongg. Saya yakin setelah ini mental mu jadi lebih kuat dari sekarang."
Tentu saja mereka belum merasa tenang begitu saja, besok mereka masih harus datang untuk melakukan sidang pemeriksaan bukti. Saksi yang akan hadir esok hari akan jauh lebih ramai dari hari ini, tentunya akan lebih rumit.
Yang Dika takutkan hanya satu, karena besok banyak saksi yang merupakan orang lanjut umur, tentunya kemungkinan akan ada pernyataan yang tak sesuai antara satu saksi dengan saksi lainnya. Kemungkinan untuk adanya penyataan yang tak konsisten pada satu orang juga sangat besar, Dika benar-benar harus mempersiapkan diri dengan baik.
...
Napuja dan Joharta kembali ke kamar rumah sakit, tubuh Napuja terasa sedikit keram karena ototnya menegang selama di pengadilan.
Joharta menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dia menghembus nafas lembut. "Adek, kalau misalkan kamu disuruh ceritain lebih banyak tentang abang mu ke ketua hakim, keberatan gak?"
Napuja langsung melotot, lalu dia sipitkan matanya, ekspresinya seakan ragu. "Kalau ditanya-tanya yang lain gimana mas...?"
"Kamu denger kata Satya tadi kan?"
"Ooh- nanti aku jawab kaya gitu?"
Joharta mengangguk pelan, dia mengusak rambut Napuja lembut. "Bilang aja, untuk itu akan dijelaskan lebih lanjut oleh Om Dika," katanya sambil terkekeh pelan. "Gakpapa, kalau kamu udah bingung atau susah buat ngeluarin suara, bisa sebut Om Dika, atau sebut aja nama ku, ya?"
Napuja mengangguk pelan. Dia mendongak dan menatap dalam mata Joharta. "Mas.. makasih banyak ya?"
Joharta menggelengkan kepala lalu menunduk, memeluk tubuh Napuja dengan erat. "Semangat sayang."
To Be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Harta Tak Dipuja ; Kookv
RandomAwan berubah abu-abu, tumpah sejuta air yang menemani erangan sang Harta yang Tak DiPuja.