20: Ingat

111 15 2
                                    

Air mata Napuja tak bisa berhenti mengalir, dadanya terasa sesak, hati terus merasa gelisah. Rasa bersalah dan penyesalan terus menghantamnya, terlebih lagi Mahendra terlihat marah dengannya. Tentu saja, Mahendra sudah banyak membantu Napuja, tapi Napuja seolah mencelakakan anak tunggalnya.

Mobil yang bergerak begitu cepat membuat Napuja merasa mual, dia terbatuk, menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Untungnya dia berhasil menahan muntah yang tadinya sudah berada di ujung tenggorokan.

Setibanya di rumah sakit, Mahendra langsung membantu Napuja untuk turun dari mobil, sementara itu wanita asing yang juga ikut menumpang pada mobil Mahendra yang mendorong kursi roda Napuja.

Dengan cepat Mahendra berlari ke resepsionis, menanyakan keadaan putra satu-satu nya. Dikabarkan, Joharta kini sedang berada di ruang operasi, benturan pada kepala yang terlalu kencang menyebabkan ada masalah pada otaknya.

Oprasi akan selesai dalam beberapa jam kedepan, Mahendra meminta Napuja untuk pulang terlebih dahulu, tak lupa untuk berterima kasih pada pasangan suami istri yang telah membantu Joharta dan Napuja.

Pasangan suami istri itu pergi dari rumah sakit dengan taxi, menggunakan uang bernilai lumayan banyak yang Mahendra berikan sebagai imbalan.

Sedangkan Napuja, diantar sendiri oleh Mahendra. Di dalam mobil, atmosfer canggung menyelimuti keduanya, sampai Mahendra memberanikan diri untuk membuka suara.

"Napuja? Maafin om, tadi kebawa emosi."

Napuja tersenyum tipis lalu mengangguk. "Maafin aku malah bikin tambah pusing, om. Maaf, gara-gara aku Mas Jo sampai harus di oprasi kaya gini, aku bener-bener ngga bermaksud. Aku sayang sama Mas Jo, om."

"Saya tau, kalian berdua sangat lengket. Joharta juga tak pernah sedekat ini dengan siapapun, bahkan Satya, teman kampusnya."

"Aku harap Mas Jo baik-baik aja setelah ini...  Om nanti kabarin aku ya?"

Mahendra menganggukkan kepala. Setibanya di depan kost Napuja, dia mengelus pelan rambut lembut pria itu. "Jaga diri baik-baik ya nak? Joharta ga bakal mau kamu sampai kenapa-kenapa lagi."

...

Kini Mahendra dan sang istri sedang duduk di dalam kamar rumah sakit, menunggu Joharta siuman. Oprasinya berjalan dengan lancar, namun kabar buruk keluar dari mulut dokter bedah. Joharta harus kehilangan ingatannya. Namun itulah satu-satunya pilihan, jika ingin Joharta tetap hidup.

Semalaman pasangan suami istri itu bergantian untuk tetap terjaga, untuk berjaga-jaga jika Joharta siuman malam itu juga.

Lama menunggu, hasilnya nihil. Ternyata Joharta sadar di pagi hari setelah oprasi terjadi. Bundanya Joharta langsung berlari ke arahnya, tanpa ingat bahwa pria itu akan tak mengenalinya. Wanita itu menangis, menggenggam erat tangan Joharta. Namun seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Joharta hilang ingatan, dan dia sama sekali tak ingat dengan sosok wanita itu.

"Joharta sayang... ini bunda nak, kemarin kamu kecelakaan, yang bikin kamu lupa sama semuanya..."

Joharta menyipitkan mata, pandangannya perlahan pudar, dunia seakan berputar. Sigap Mahendra menekan tombol di sebelah kasur, agar pihak medis datang untuk memeriksa keadaan Joharta.

Beberapa saat kemudian, seorang suster dan dokter datang bersamaan. Joharta diperiksa detak jantungnya, meski terbilang agak cepat, tapi tak membahayakan.

"Pak, bu, jangan sampai anak ini stress ya? Kalian bisa mulai dari perkenalkan dia dengan namanya sendiri, lalu perkenalkan diri kalian," saran dokter. Keduanya langsung mengangguk serentak.

"Untuk sekarang Joharta belum boleh makan makanan yang harus dikunyah, jadi nanti kami akan siapkan bubur dan obat supaya dia tidak pusing."

"Baik dok, terima kasih banyak ya. Tapi dia udah boleh diajak bicara kan?" tanya Mahendra, dijawab dengan anggukan oleh dokter.

Setelah dokter dan suster keluar dari kamar, Mahendra mengambil ponselnya, mencoba menghubungi Napuja melalui panggilan video sembari istrinya berusaha untuk mengajak Joharta berbicara.

"Nak, nama kamu itu Joharta, ya? Ini bunda, bunda yang rawat kamu dari kecil sampai sekarang nak..."

"Nah ini Napuja, halo nak... Joharta udah sadar!" Mahendra mengarahkan kamera depan ponselnya ke arah Joharta. Joharta menatap layar ponsel itu dengan lekat, namun ekspresinya bingung.

"Mas Jo, gimana keadaannya mas? Aku kangen banget sama kamuu!"

Belum ada yang memberitau Napuja bahwa Joharta tak bisa mengenalinya saat ini. Senyuman Napuja masih sangat lebar, hingga satu kalimat dari Mahendra yang membuatnya terdiam.

"Joharta amnesia, nak."

Napuja refleks menutup mulutnya dengan satu tangan, dia benar-benar terkejut. "Mas Jo? Ingat dengan aku? Aku Napuja, kemarin pas aku sakit kamu yang rawat aku mas..."

"Saya tidak ingat kamu... Maaf," kata Joharta. Air langsung mengalir dari matanya. Napuja tak menyangka hal itu akan terjadi. "Bunda, Mas Jo masih bisa ingat dengan kita kan? Masih ada kesempatan kan?"

"Masih sayang... kita pelan-pelan bantu dia ingat ya? Hari ini kamu sibuk nak? Kalau engga kamu boleh datang jenguk Joharta..."

Napuja mengangguk cepat. "Bisa bunda! Mas Jo, tunggu adek di sana ya, nanti kita berbincang lagi..."

...

Joharta menekan-nekan tombol pada remote pendingin ruangan, cuaca hari ini panas membuat tubuhnya terasa tak nyaman. Setelah selesai mengatur suhu ruang, Joharta berjalan perlahan ke depan cermin melihat pantulan dirinya sendiri.

"Saya Joharta."

Ting Tong

Pintu kamar digeser, itu Napuja dan Mahendra. Joharta langsung mengerjapkan matanya, senyuman lebar terlukis pada wajahnya. Refleks Joharta berjalan menghampiri Napuja, kini dia berdiri di posisi Mahendra, memegang pegangan kursi roda dan mendorong kursi tersebut.

Napuja dan Mahendra sangat terkejut, Joharta bertindak seolah dia ingat dengan Napuja.

"Mas Jo? Kamu-, kamu ingat aku? Aku Napuja, yang waktu itu kamu jaga pas di rumah sakit, kaki ku ngga bisa berfungsi, dan kamu bilang, kamu bakal bantuin aku terus sampai kapan pun!"

Joharta perlahan berjalan, kini dia berdiri berhadapan dengan Napuja, matanya menatap wajah Napuja lekat. "Napuja."

"Iya, aku Napuja!" dia tersenyum lebar, menengok ke arah Mahendra yang juga sedang tersenyum. "Mas Jo, peluk?" Napuja merentangkan kedua tangannya, Joharta menunduk perlahan agar kepalanya tak terasa sakit, pelukan erat Napuja berikan padanya. "Badan Mas Jo hangat, om. Kayanya dia butuh istirahat lebih."

"Saya ingat kamu, tapi saya tak tau pasti." gaya bahasa Joharta yang berubah membuat Napuja semakin yakin bahwa ini semua bukanlah mimpi. Tapi dia sangat bahagia, Joharta mengingat dirinya.

"Nanti aku bantu mas untuk ingat semuanya, ya? Mas bisa percayain semua ke aku!"

To Be Continued...

Harta Tak Dipuja ; KookvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang