⚠️ BIASAKAN BACA TW ⚠️
一 Disclaimer 一
Cerita mengandung konten dewasa, mencakup kegiatan membahayakan diri (selfharm), serta deskripsi kekerasan.
...
Hari-hari berjalan seperti biasa. Kini setiap ke kampus, Napuja memilih jalan yang melewati warung bundanya Joharta. Setiap hari mereka bertemu, kadang berbincang, kadang hanya sekedar bertegur sapa.
Tetap, beban pada pundak Napuja masih terasa sangat berat. Dia masih tetap menangis setiap malam, perasaan tak sedap terus menyerang. Entah apa yang membuatnya gelisah, tapi semesta seolah tak pernah mengizinkan seorang Napuja untuk hidup dengan tenang.
Di kamar kost berbentuk petak itu, ada sebuah lemari kecil yang dia simpan tepat di sebelah kasurnya. Berisikan barang-barang random, lalu ada kotak kecil berisikan benda tak tumpul yang biasa dia gunakan untuk memotong kertas.
Napuja berbaring terlentang, dengan posisi kedua tangan di atas perut, matanya menatap ke langit-langit kamar. Dada Napuja bergerak naik-turun cepat, seluruh tubuhnya terasa dingin, merinding, gelisah, sangat gelisah.
Sesekali dia memejamkan mata, memberi cela tipis pada mulut agar memudahkan pengambilan nafasnya.
"Hhhh, mendingan gue nangis ngeraung dari pada ngga bisa nangis kaya gini," keluh Napuja sambil memaksa tubuhnya untuk duduk. Dia membuka laci kecil di sebelah kasur, mengambil korek api, botol plastik bekas yang sudah lama terpajang di sana一 Napuja lupa dan malas membuangnya, serta gunting yang berukuran sedang.
Dia menggerakkan roda pemantik pada korek api tersebut memanaskan ujung gunting hingga tercium aroma gosong, api yang menyala lumayan besar, ibu jarinya tetap menekan di sana agar apinya tidak mati.
Perlahan tangannya dapat merasakan hawa hangat. Gunting yang sudah ia panaskan, ia gunakan untuk membolongkan botol plastik itu. Semakin banyak bagian yang dia tusuk, lelehan botol plastik yang masih panas pun menyentuh kulitnya, hingga meninggalkan bekas kemerahan yang perlahan warnanya menggelap.
Tiba-tiba, korek api yang ia gunakan untuk memanaskan gunting tadi tak lagi bisa menyala. Napuja langsung menyerngitkan dahi, berkali-kali mencoba untuk menggerakkan pemantik, namun tidak ada api yang menyala. Refleks dia melemparkan benda itu ke sembarang tempat pada kamarnya.
"Memang sialan."
...
Pukul 23:23, Napuja berkeliaran di luar kost, langkah kakinya pelan, tujuannya juga tak jelas.
Seketika pandangan Napuja tertuju pada sebuah warung, lagi-lagi Joharta duduk di kursi panjang depan warung itu. Kini tidak bermain game, hanya menengok kanan-kiri, sambil menghisap sebatang rokok.
Merasa ada langkah kaki yang mendekat, Joharta langsung menengok kearah Napuja, seketika ekspresinya yang semula datar, berubah menjadi senyum tipis.
"Napuja! Mau ngapain ke sini?"
"Mau lihat orang," jawabnya singkat. Napuja langsung duduk di sebelah Joharta, dia tau pasti, bahwa pria itu sedang tidak baik-baik saja. Napuja juga sama sekali tak ingin mengembunyikan itu, seolah ingin Joharta sadar bahwa dirinya sedang butuh dorongan.
"Lihat orang? Ooh, lo kangen sama gue?"
Napuja menggeleng pelan. "Bukan, gue cuma mau mastiin, di dunia ini masih ada orang bahagia atau engga, makanya gue ke sini."
"Ok, dan jawabannya? Ada atau gak?"
"Ada, lo."
Joharta terbatuk, asap rokoknya kini menyebar hingga ke depan wajah Napuja. Dengan cepat Joharta mengibas-ngibas kedua tangannya di depan pria yang lebih muda itu agar asapnya tak mengganggunya.
"Maaf dek, gak bermaksud, serius."
Napuja menengok, menatap mata Joharta dalam, membuat pergerakan pria itu terhenti.
"Tapi, lo bahagia kan mas?"
"Muka gue muka-muka bahagia ya menurut lo?"
Napuja mengangguk pelan. "Pura-pura bahagia lebih tepatnya."
Joharta refleks memundurkan kepalanya lalu tersenyum tipis. "Gak, gue memang bahagia kok," ucapnya kemudian menghela nafas. "Lo sendiri bahagia ngga dek?"
"Bahagia sih, cuma lagi ketunda aja kayanya."
Joharta mengangkat kedua alisnya heran, dia menganalisa Napuja yang sedaritadi duduk tak tegap dan pandangannya terus mengarah ke bawah. Panjang lengan dari hoodie oversized yang Napuja kenakan berhasil menutup hingga ujung jari.
"Lo kalau ada apa-apa bisa cerita sama gue dek, anak psikologi juga butuh psikolog kan? Gue memang gak sepandai lo membaca gerak manusia, tapi lo kelihatannya gak bahagia sekarang, ada apa dek?" Joharta menunduk sedikit, menatap wajah Napuja.
Perlahan air mulai menetes membasahi pipi cantiknya, dengan cepat Napuja menyapu air matanya jauh-jauh.
"Nggapapa kok mas, gue nggapapa."
"Itu kenapa dek?" Joharta melotot, tak sengaja melihat noda kehitaman pada telapak tangan Napuja, yang jelas itu bukan noda biasa. "Dek?"
Napuja menarik lengan hoodienya untuk menutupi noda itu, Joharta terus berusaha untuk meraih tangannya tapi dia menolak.
"Ngga usah mas!"
Joharta terdiam sejenak, matanya tertuju pada manik penuh binar milik Napuja.
"Ngga apa, jangan peduliin ini."
"You need help, dek."
"Iya, lo duduk aja diem di sana, ngga perlu ngomong apapun, yang penting gue tau ada orang lain di sini."
Joharta menghela nafas kasar, akhirnya di mengangguk. Sesuai dengan permintaan, Joharta tak mengatakan sepatah kata-pun.
Dia menengok sedikit ke belakang, terbesit ide di dalam otaknya. Dia berjalan mendekati freezer, kemudian mengeluarkan dua batang es lilin dari dalam sana.
Dengan gugup dia duduk di sebelah Napuja, menyodorkan es itu padanya. Napuja menatapnya sayu beberapa detik, kemudian menerima pemberiannya.
Napuja menggigit ujung plastik es lilin itu sambil menariknya, berharap itu bisa terbuka, namun yang dia dapatkan hanya rasa sakit pada telapak tangannya.
"He- jangan pakai gigit, sini di gunting aja." Joharta mengambil alih es milik Napuja, kemudian menggunting ujung plastiknya, miliknya sendiri juga ia gunting. "Ini, makan. Gue yang pegangin aja, gue tau tangan lo sakit."
Napuja menghela nafas, dia memiringkan tubuh menghadap Joharta, dia membuka mulutnya sedikit, menghisap es lilin rasa coklat itu secara perlahan. Tangannya menyentuh lengan Joharta agar aktivitas makannya menjadi lebih mudah.
"Enak dek?"
"Heem, enak mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Harta Tak Dipuja ; Kookv
عشوائيAwan berubah abu-abu, tumpah sejuta air yang menemani erangan sang Harta yang Tak DiPuja.