Cuaca pada sore hari sangat bertolak belakang dengan tadi pagi. Tadinya cerah, matahari sangat terik menyilaukan mata siapapun yang berada di ruangan terbuka, namun kini awan berwarna gelap melemparkan jutaan tetes hujan yang menghunjam atap-atap bangunan.
Puluhan pengendara motor yang tak menyiapkan jas hujan dibuat basah kuyup olehnya. Ada yang menerobos hujan, ada juga yang memutuskan untuk berteduh. Berbeda dengan pengguna kendaraan roda empat yang sama sekali tak terganggu dengan adanya hujan lebat.
Gemuruh petir sayup-sayup terdengar, Napuja mengerutkan alisnya saat kilat beberapa kali menembus jendela kamarnya. Sejak tadi pagi, tak ada yang menemaninya, bahkan dia hanya bicara sekali hari ini, hanya dengan suster yang tadi membawakan makan siang untuknya.
Napuja menghela nafas, perasaannya semakin terasa tak sedap saat langit menggelap, suara hujan yang menusuk indera pendengaran membuatnya gelisah. Bukannya tak suka dengan hujan, hanya saja dia benci dengan kebisingan. Apalagi dia lagi sendirian.
Air hujan yang berlomba-lomba menetes pada jendela membuat Napuja merasa tak nyaman, perlahan dia menarik kursi roda yang terletak tak jauh dari kasurnya. Dengan penuh perkiraan, dia mencoba menjatuhkan tubuhnya dari kasur ke atas kursi roda, dan dia berhasil meski sikunya harus terpentok meja, membuat dia meringis kesakitan.
"Hhh..." helaan nafas kasar ia keluarkan. Bohong kalau dia tak benci dengan kondisinya sekarang, dia rindu dengan kakinya yang bisa melangkah, menopang tubuhnya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan lincah.
Napuja mengangkat satu tangan, menyentuh gorden berukuran besar berkualitas tinggi, tangan satunya ia gunakan untuk menggerakkan roda kursi, perlahan kursi roda itu berjalan maju, gorden yang ia pegang pun tertarik.
Rasa bosan yang melanda membuat Napuja memutuskan untuk keliling-keliling kamar luasnya menggunakan kursi roda, sekaligus melatih tangan supaya lebih lincah menggerakkan roda kursi.
Hari mulai malam, hujan tak kunjung reda. Napuja yang sedang duduk di atas sofa sambil menonton televisi mulai khawatir, penasaran dengan keadaan Joharta di luar sana.
Tok tok tok...
Kepalanya refleks menoleh ke arah pintu yang tergeser, Mahendra melangkah masuk, seperti biasa dengan pakaian formal. Dia baru pulang dari kantornya.
"Selamat malam om."
"Halo Napuja, kenapa bisa di sini?"
"Tadi aku di kursi roda, terus ngga bisa naik lagi ke kasur, yaudah aku duduk di sini aja."
Mahendra menghela nafas sambil menggelengkan kepala pelan. "Pasti kamu capek dari tadi duduk, sekarang ke kasur ya?"
Napuja mengangguk pelan. Dengan lembut Mahendra mengangkat tubuh Napuja, meletakkannya di atas kasur empuk yang sudah ditinggal Napuja selama berjam-jam.
"Lain kali kalau ada apa-apa, langsung panggil suster ya? Tekan tombol merah yang ada di sebelah kasur mu," ucap Mahendra penuh khawatir. "Kamu udah makan belum?"
"Belum om, belum lapar juga."
"Astaga, kamu itu harus makan supaya bisa minum obat. Ke mana Joharta?"
Tiba-tiba terdengar suara pintu tergeser kasar, keduanya menengok serentak.
"Selamat malam!" itu Joharta. Badannya basah kuyup, ada beberapa plastik makanan tergantung pada kedua tangannya. Napuja tersenyum lebar menyambut kedatangan Joharta. "Adek, pasti belum makan malam kan?"
"Iya belum mas."
"Aku beli bubur ayam, makan dulu yuk? Mumpung masih anget. Semoga gak kemasukan air hujan ya ini," ucapnya sambil terkekeh geli.
"Mas, gimana kuliahnya?"
"Aman dek."
Joharta mengeluarkan satu kotak bubur dan sendok putih kecil dari dalam plastik, aroma makanan langsung menyebar ke seluruh ruangan. Mahendra yang merasa sama sekali tak dihiraukan oleh Joharta pun hanya bisa menghela nafas.
"Ayah."
"Iya nak?"
"Ayah boleh pulang sekarang, bunda sendirian di rumah."
Mahendra tersenyum kecil, merapatkan kedua bibirnya lalu dia mengangguk. "Iya nak, kalau ada apa-apa tolong telfon ayah ya?"
"Iya, pasti."
Kepergian Mahendra dari kamar membuat suasana yang semula canggung jadi hangat.
...
Dengan antusias tinggi Napuja menceritakan aksinya turun dari kasur tadi. Joharta menyipitkan mata, berkali-kali menghela nafas. "Lain kali jangan coba-coba ngelakuin itu lagi, apalagi lengan kamu masih lemah, kalau jatoh gimana? Kan sakit," ucapnya panjang. Bubur yang sudah berada di atas sendok dia anggurkan begitu saja. "Aku berani ninggalin kamu di sini soalnya aku pikir kamu bakal dijaga sama petugas rumah sakit, jangan pernah takut buat manggil mereka, memang udah kewajibannya buat bantuin pasien."
Napuja yang mendengar kalimat panjang lebar Joharta hanya bisa diam, dia tak sanggup menyanggah karena tak ada yang salah dengan pernyataan Joharta. Tapi Napuja saja yang sok ngide pengen belajar mandiri di saat kondisinya masih belum baik.
"Tapi... tangan mu beneran udah bisa gerakin kursi roda?" sambungnya.
Ekspresi Napuja yang semula lesu karena diomelin, kini bibirnya kembali terangkat. Dengan antusias tinggi dia bercerita. "Aku bolak-balik di kamar ini sekitar setengah jam, dan aku ngerasa tangan ku jadi ngga sekaku sebelumnya!"
"Oh ya? Good job sayang." Joharta senyum lebar, dia meletakkan sendok yang ia pegang ke dalam mangkuk bubur, lalu mengusak rambut lembut Napuja. "Ingat pesan ku ya? Sebelum ngelakuin sesuatu harus pikir panjang, jangan sampai tindakan mu bisa ngebahayain diri mu sendiri."
Napuja mengangguk lucu. "Hu'um! Besok ngga akan bandel lagi."
To Be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Harta Tak Dipuja ; Kookv
AléatoireAwan berubah abu-abu, tumpah sejuta air yang menemani erangan sang Harta yang Tak DiPuja.