Aku berjalan memasuki ruangan minim cahaya dengan lilin di setiap sudut meja sebagai penerangannya, era yang sungguh kuno bukan?
Aku yang kedua hadir-tentu saja, aku anak tertua kedua dari keluarga ini. Kulihat kakak tertuaku duduk di sudut meja menatap tajam kehadiranku hanya beberapa detik, lalu kembali ia menatap kosong meja dihadapannya. Kami memang bersaudara tetapi kami tak saling menyapa di meja makan bahkan memperlihatkan ego kami. Ini adalah salah satu 'etika' dasar para bangsawan seperti kami.
Salah seorang pelayan mempersilahkanku duduk di samping kakak tertuaku, kulihat pula saudara-saudariku mulai memasuki ruang makan bergilir.
Di sudut ruangan terdapat gramofone tua yang sedang diputar, melodi klasiknya menggema begitu halus, membuat suasana ruang makan tidak begitu kaku karenanya.
Kami tak sedikitpun menoleh satu sama lain sampai kehadiran kedua orang tua kami mulai terasa. Beberapa saat kemudian, mereka muncul dengan setelan yang terlihat mewah. Kami berdiri untuk menghormati kehadiran mereka, diikuti para pelayan yang membungkuk empat puluh lima derajat sesuai 'aturan' keluarga kami. Bentuk dari menghargai mereka sebagai sesama sekaligus sebagai bawahan kami.
Keduanya mengangguk untuk memberikan isyarat bahwa mereka merasa tersambut dan mempersilahkan kami duduk kembali setelah mereka.
Robert, kepala pelayan disini, memberikan arahan pada seluruh pelayan untuk menyajikan 'anggur' yang mereka punya.
Setelah cawannya kini terisi, kedua orang tuaku saling bertukar pandang. Ayah lalu berdiri kembali penuh wibawa.
"Hari ini, malam spesial ini. Seperti pada malam-malam tahun yang lalu untuk malam tahun berikutnya. Aku mempersembahkan wine penuh kenikmatan ini dengan rasa bangga" ujarnya
Ia tak sekalipun menatap kami, namun sorot matanya seolah memantau setiap wajah yang tertuju padanya.
"Demi menghormati leluhur kami dan balas jasa atas mereka,"
Ia mengangkat cawannya, berkata "terbebasilah kami untuk berpesta malam ini" seringainya terukir, seolah telah lama menanti malam ini.
Kami serempak mengangkat cawan kami, hasrat akan rasa haus yang tertimbun selama berbulan-bulan terlihat pada masing-masing wajah mereka. Aku menatap Danielle, saudariku yang termuda. Ia bergidik sebentar, aku tahu apa yang dipikirkannya. Aku segera menepis pandanganku, menunjukkan sikap seutuhnya bangsawan. Aku meneguk anggur merah yang dituangkan kembali oleh pelayanku. Ya, anggur yang hanya dapat kami minum, darah.
⛧•˖⁺‧₊˚♡˚₊‧⁺˖•˖⁺‧₊˚♡˚₊‧⁺˖•⛧
"Aku melihatmu tadi" Danielle tiba-tiba menegurku suaranya sedikit serak.
"Apa?" Balasku
Kami berada di balkon belakang, tempat dimana aku selalu memandang malam. Entah mengapa Danielle akhir-akhir ini sering kali kesini. Dia menyenderkan dadanya di pagar sembari melipat tangannya mencari ruang ternyaman agar bisa memandang hamparan bukit dengan padang bunga mawar milik keluarga kami sebagai pelengkapnya.
"Kau memperhatikanku"
"..."
"Aku selalu tahu kau adalah orang yang paling menyadari diriku. Kau tak membicarakanku maupun menertawakanku pada mereka"
"..."
"Menurutmu hanya aku yang terlihat aneh?"
Aku mengangguk.
"Oh, ayolah..." Danielle menyikutku. Dia terlihat sedikit kesal, aku hanya tertawa kecil.
"Kenapa kau tak pergi?" lanjut Danielle
KAMU SEDANG MEMBACA
Velvet Night Fate : The Violet Heart [Ddeungromi]
Vampire"Katakan padaku, Katherine. Apa yang membuatmu tidak bisa melupakannya?" "Dirinya, satu-satunya yang tak akan pernah bisa kau berikan." Ethan terdiam, tubuhnya seketika mematung. Rasa sesak di dadanya muncul menjalar hingga ke tiap sendi-sendi di tu...