Eleven

63 9 0
                                    

Siang itu mataharinya entah mengapa terasa cukup terik untukku melakukan berbagai kegiatan. Aku memutuskan untuk bersantai di bawah pohon apel di belakang mansion milikku. Entah sejak kapan, tapi aku menyukai tempat ini. Lembaran demi lembaran buku ilmiah ku baca satu persatu sembari menunggu waktu yang tidak pasti. 

Aku tidak bersama Peter. Dia hari ini begitu gigih mengurus bisnisnya. Padahal segala urusan telah usai dan kami hanya perlu melanjutkan kembali pekerjaan kami esok. Bukankah seperti itu yang dilakukan manusia pada umumnya?

Tidak ada angin, namun daun di pohon berjatuhan. Daun-daun itu mendarat di atas lembaran buku yang sedang ku baca. Aku bisa merasakan kehadirannya. Dirinya yang begitu familier. 

"Siang tuan muda"

Senyuman di bibir kecilnya mengembang, terlihat seperti biasanya. Seolah-seolah tak pernah menanggung sebuah beban, menampilkan sisi ceria yang selalu dipuja banyak orang.

"Kau rupanya"

"Jangan berpura-pura terkejut. Aku tahu kau yang paling jago mengenali bau"

"Lalu, aku harus bagaimana?"

Dia tertawa renyah, namun tetap terlihat manis. Seperti burung kecil yang baru mulai belajar terbang, tawanya penuh akan kebebasan dan keindahan. Di setiap nada suaranya, ada keceriaan yang menular, seolah mengajak semua orang di sekitarnya untuk merasakan kebahagiaan yang sama.

"Sedang apa di sini?" Dia bertanya padaku, matanya berkilau penuh rasa ingin tahu.

"Kau tak lihat aku sedang sibuk" 

"Sibuk apa, ya? Padahal kau hanya membaca novel dan bersantai di bawah pohon"

"Jika kau tertarik bacalah. Ini bukan novel"

Aku menodongkan buku yang kupegang padanya dengan salah satu tanganku dan diriku yang masih fokus membaca.  Ya, Danielle, saudariku yang paling muda. Ia menolak buku yang kutodongkan dan justru melirik sebuah buku di sampingku dan membaca judul buku itu. "Beauté des ballets,"  katanya, suaranya penuh rasa ingin tahu. 

"Sejak kapan kau mulai menyukai balet?" ekspresi Danielle terlihat penasaran. Ia memiringkan kepalanya, menantiku menjawab, seolah berharap ada kisah menarik yang akan mengisi hening di antara kami.

Aku menghentikan kegiatan membacaku. Dan melirik ke arah buku yang dimaksud. 

"Oh, aku tak sengaja mendapatkannya"

"Hm, aneh sekali" 

Danielle sedikit heran. Disisi lain aku tak berniat menanggapinya. "Hanya kau sendiri?" tanyaku

"Tidak. Aku datang bersama yang lain. Mereka semua di penginapan. Kecuali Ayah dan ibu"

"Oh"

"Ngomong-ngomong kau tidak ingin bertanya atau sedikit penasaran?"

"Mengenai apa?"

"Aku akan masuk akademi lagi"

"Jadi kau tiba-tiba datang karena mereka sudah menyetujuinya"

"Begitulah"

Aku sangat tahu bahwa Danielle sungguh memimpikan hal ini. Dia memang yang termuda tapi dia juga tidak bodoh. Memasuki akademi mungkin adalah kesenangan tersendiri baginya. Mengingat dia ingin terlihat sangat berbeda dengan vampir lainnya. Bagiku yang sudah berpuluh-puluh tahun belajar di akademi dengan segala bentuk pendidikan yang berevolusi itu sangat membosankan. Dimana kami lebih tahu tentang sejarah dibandingkan manusia. Yang membedakan hanya pada kami tak bernyawa. Sehingga kami tak dapat membuat sebuah revolusi teknologi seperti bagaimana otak manusia memikirkannya.

Velvet Night Fate : The Violet Heart [Ddeungromi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang