Aku membenci semua yang ada dunia ini, termasuk diriku. Kau tahu? Jika seandainya diriku dihadapkan oleh dua pilihan antara hidup dan mati. Maka aku lebih baik memilih kematian.
Balet, satu-satunya bagian dari hidupku yang tertinggal saat ini. Puluhan tahun aku mengabadikan diriku untuk menjadi seorang balerina. Namun, entah mengapa trauma berat yang kurasakan semenjak kepergiannya membuatku kini merasa sedikit asing dengan balet.
Sudah hampir 7 tahun berlalu aku tak bisa melupakan momen-momen itu. Aroma parfum yang biasa digunakannya, senyum menawannya, sampai sentuhan yang dia berikan, aku masih mengingatnya dengan jelas. Perasaan itu, hingga kini masih bertahan.
Aku memandang sebuah cermin yang memantulkan diriku di dalamnya. Wajah yang sama, tatapan yang berbeda. Apakah dulu aku sebahagia itu? Jika saat itu aku tak bertemu denganmu, mungkin aku tak akan pernah merasakan perasaan seperti ini.
Aku mengalihkan diriku dari cermin itu, mengambil tas dan mulai memasang sepatuku. Kulihat luka di jemariku sudah tertutup. Seharusnya pria itu tak perlu berusaha keras untuk menyembuhkannya, karena pada akhirnya luka itu akan kembali terbuka.
Setelah menyiapkan segala keperluanku. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku menuju pintu. Sekali lagi, kutatap sekilas cermin itu. Hari ini, aku akan berlatih bersama anggotaku.
⛧•˖⁺‧₊˚♡˚₊‧⁺˖•˖⁺‧₊˚♡˚₊‧⁺˖•⛧
Semua orang terlihat terkejut akan kehadiranku. Kulihat di sudut ruangan terdapat Winter tengah memandangku, dia satu-satunya yang tak terkejut.
"Akhirnya, kau datang prima ballerina-ku"
Joe, instruktur baletku. Kami dulu pernah dekat, dia adalah salah satu support system-ku selama hampir 15 tahun berkarier. Namun, sejak beberapa kali absen dari dunia balet, aku tak lagi akrab dengannya.
Dia menghampiriku dan tersenyum bangga.
"Kami sangat menantikanmu"
Aku melewati dirinya, tak menghiraukan ucapannya. Kuletakkan tasku yang berisi pakaian ganti di atas kursi panjang di sudut ruangan. Aku menduduki kursi itu, mengganti sepatu yang saat ini kugunakan dengan sepatu baletku, lalu kembali ke atas panggung dan bersiap mengambil posisiku.
Aku melirik ke arah kerumunan anggota yang akan menjadi penari latar. Di samping pemeran utama pria yang akan memerankan Prince Siegfried, ada Gisella yang tengah menatapku tajam. Sepertinya dialah pemain cadangan yang menggantikanku sebagai Odile selama beberapa hari ini.
Joe yang seolah mengerti dengan gerak-gerikku lalu menyuruh yang lain mengambil masing-masing posisi dan menyetel musik kami. Gisella pergi ke belakang layar meninggalkan panggung, ekspresinya terlihat sangat kesal. Aku tak tahu mengapa dia selalu seperti itu padaku, tapi yang jelas kami tak pernah akrab.
"Semuanya fokus" tegur Joe
Kami membawakan tiap porsi tarian kami masing-masing. Para petugas juga sibuk mempersiapkan segala properti dan mengarahkan para pemain bergilir.
"Jangan berpaling dan hidupkan lagi perasaan kalian"
Joe tak pernah letih menginstruksi kami. Dia menilai setiap detail gerakan yang kami lakukan, suaranya bahkan sampai terdengar serak.
"Waktu kita tersisa tiga hari aku yakin latihan kalian selama berbulan-bulan akan sangat memuaskan"
Kami menyelesaikan tiap babak cerita dan terus mengulang-ulangnya. Tak terasa waktu kini sudah menunjukkan tengah hari.
"Tetap fokus dan jangan berhenti menari!" teriak Joe
Di akhir babak, kulihat orang-orang berjas muncul dari arah pintu, menyaksikan penampilan kami. Mereka adalah para eksekutif perusahaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Velvet Night Fate : The Violet Heart [Ddeungromi]
Vampire"Katakan padaku, Katherine. Apa yang membuatmu tidak bisa melupakannya?" "Dirinya, satu-satunya yang tak akan pernah bisa kau berikan." Ethan terdiam, tubuhnya seketika mematung. Rasa sesak di dadanya muncul menjalar hingga ke tiap sendi-sendi di tu...