4 | Keep Going

215 33 0
                                    

"Pemimpin adalah dia yang tidak hanya mampu berdiri di tengah perbedaan, tapi juga mampu menyatukan perbedaan tersebut." —Hyoma Chigiri.

✴️✴️✴️

Bahwasanya, sudah merupakan ketentuan alam jika pertarungan perasaan memang berkali-kali menyakitkan dibanding bergelut fisik.

"Biar Kakak tanya, apa yang kalian inginkan?"

Disinilah mereka, ketiga orang putra raja tengah berdiskusi di sebuah gazebo di belakang istana. Apa yang terjadi semalam membuat Chigiri berinisiatif untuk membenarkan sudut pandang kedua adiknya yakni Nagi dan Bachira.

"Hidup memang tidak adil, bukankah seharusnya kalian sudah terbiasa dengan ini semua?!"

Keduanya tetap bungkam sendari tadi, entah apa yang sedang mereka pikirkan masing-masing. Chigiri terus mencoba agar adik-adiknya bisa terbuka padanya untuk menghindari penumpukan masalah diantara mereka.

Nagi memang tipe orang yang menghindari masalah, Chigiri juga tahu akan hal itu. Jika saja dia mau terbuka seperti dirinya, mungkin mereka bisa berbagi pola pikir yang berkesinambungan.

"Diantara kita, ketidakadilan itu terjadi pada Yoichi, karena ia tidak memiliki kekuatan yang kita miliki. Bukankah kita sudah sepakat atas hal ini, lalu kenapa kita mempermasalahkan ini sekarang?"

Komunikasi yang baik akan berakhir dengan pemahaman yang baik. Sejak kecil orang tua mereka sudah menjelaskan bahwa Isagi akan diperlakukan sedikit berbeda dari yang lain, semuanya setuju. Namun, yang terjadi sekarang sepertinya bisa menjelaskan ada sesuatu yang salah dari kesepakatan tersebut.

"Untuk apa kamu mengajak kami kesini, Kak? Kamu berada di pihak Isagi, aku tahu itu. Apa kamu sedang mencoba membuatku terus memaklumi ini lagi dan lagi?" Sifat kekanak-kanakan Bachira memang tidak pernah hilang.

"Ini bukan tentang Kakak berada di pihak siapa, Chira. Kakak hanya ingin tahu bagaimana sudut pandang kalian terhadap permasalahan ini. Kita semua adalah saudara. Kakak mana yang bisa tenang saat melihat adik-adiknya bertengkar seperti ini?"

"Apa yang harus kita lakukan?" Nagi angkat bicara.

"Rendahkan ego kalian agar kekeruhan ini tidak berlanjut," ujar Chigiri.

"Bagaimana dengan Kak Rin?" tanya Nagi.

"Kakak sedang mencoba mengajak kalian untuk memikirkan hal itu, Kakak butuh kerja sama kalian, maka dari itu ada hal yang perlu kalian mengerti terlebih dahulu."

"Benar, apa yang dikatakan oleh Kakak memang tidak ada salahnya sama sekali. Jika memang kita harus mengerti, lalu kapan kita akan dimengerti." Bachira terus menerus memojokkan perkataan Chigiri.

"Apa ini tentang ibu lagi? Ibu hanya mencoba memberi sebuah keadilan pada Isagi, hanya itu-" belum sempat menyelesaikan ucapannya, Nagi kembali menyelang ....

"Apa yang dilakukan ibu mungkin sudah benar. Tapi, apakah perlu memerjuangkan keadilan untuk satu orang dengan mentidakadili yang lain?"

"Dengar Nagi, Bachira! Tidak ada penegak hukum diantara kita. Tolong pahami, apa yang terjadi di antara kita mungkin saja karena kesalahan komunikasi. Jika kalian ingin protes terhadap ibu, kita bicarakan ini secara baik-baik."

"Aku merasakan perasaan yang sama seperti Kak Rin, Kak."

Perasaan tidak adil itu muncul seiring waktu, ditambah ada yang membahas hal itu diantara mereka sebelumnya. Merasa sependapat, mereka terus-menerus menumbuhkan hal itu sehingga menyakiti diri mereka sendiri.

"Aku mengerti hal itu, tapi aku anggap itu bukan sebuah masalah." Chigiri rasa ia salah bicara pada bagian ini, buktinya mereka malah menjadi berdebat.

"Kamu mungkin tidak mempermasalahkan hal itu Kak, tapi sikap manusia itu berbeda-beda. Anggap saja kita manusia yang haus kasih sayang, sampai hal konyol harus kita permasalakan di usia yang cukup dewasa ini." Nagi mengutarakan itu, dibarengi sedikit tawanya yang menyimpan maksud lain.

"Siapa yang egois kali ini?!" timpal Bachira.

"Kalian bertiga memang sependapat, tapi bukan berarti ego kalian harus memberontak tanpa penyelesaian! Kakak hanya mencoba menyelesaikan ini, tapi nampaknya itu tidak berhasil," ucapnya sendu.

Memang benar kan?

Hati yang tergores belati akan sulit untuk mengerti.

✴️✴️✴️

Isagi tengah termenung di atas kasurnya, sejak pagi ia memang tidak melakukan aktivitas di luar kamarnya. Ia mengingat bagaimana saat kakaknya—Rin, menyalurkan kilasan saat dirinya benar-benar diperlakukan berlebihan oleh sang Ibunda.

Cklek...

Pintu terbuka, menampilkan sosok wanita cantik tengah tersenyum lembut padanya.

"Sedang apa kamu, Nak? Mengapa terus-menerus diam di kamar seperti ini?" tanyanya.

"Apa Ibu menemui Kak Rin seperti menemuiku kali ini?" Isagi tidak ingin sikap ibunya ini terus-menerus menyakiti hati kakak-kakaknya.

Ratu tampak berpikir, "Mengapa menanyakan hal itu?"

"Pergilah Bu, temui Kak Rin. Dia sedang tidak baik-baik saja!" ucapnya.

"Dia sudah besar Isagi, harusnya dia paham atas apa yang harus dilakukannya."

"Apa dengan umur yang sudah besar menjamin mereka akan baik-baik saja? Apa dengan sudah besar mereka tidak perlu perhatian Ibu?" Pertanyaan itu seakan bertujuan untuk menyinggung Ratu.

"Isagi-"

"Aku juga sudah besar Bu, apa selama ini Ibu menganggapku anak kecil? aku tahu apa yang harus aku lakukan, aku paham atas segala keadaan di sekitarku. Tapi, mengapa Ibu seakan tidak sadar dengan semua itu."

Isagi marah, tapi bukan dengan cara yang salah. Ia beralih meraih jemari sang ibu yang tengah terdiam menatapnya.

"Bu, keluarga kami butuh keadilan, aku merasa kehadiranku benar-benar mengambil seluruh kebahagiaan kakak-kakak ku. Aku merasa bersalah mengapa aku harus menerima perlakuan seperti ini dari Ibu. Cukup Bu, jangan sampai mereka menyalahkan Ibu nantinya. Ibu menyayangi Isagi bukan? Sayangi mereka, perlakukan mereka sama seperti Ibu menyayangiku dan memperlakukanku dengan baik." Bulir bening itu jatuh pada mata keduanya,

"Temui Kak Rin, Bu. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya." Ratu mengangguk sebagai jawaban.

✴️✴️✴️

Rin mengerutkan kening saat melihat sang ibu memasuki kamarnya, tidak biasanya Ratu menghampirinya seperti ini.

'Pasti tujuan ibu ke sini hanya untuk memarahiku.'

"Kamu baik-baik saja, Nak?" Pertanyaan sang Ratu benar-benar membuat Rin kebingungan. Bukannya merasa lebih baik, pria itu justru merasakan ngilu pada hatinya.

"Apa peduli Ibu?" tanyanya dengan nada yang dingin.

"Ibu menanyakan kabarmu, mengapa tidak dijawab?"

"Kalau Ibu datang kesini karena permintaan Isagi, bukan atas kemauan Ibu sendiri, lebih baik Ibu tidak perlu datang kemari. Aku tidak butuh belas kasihan tanpa keikhlasan, Bu!" ucapnya pada sang Ibu.

Benar saja, setelah berkata demikian sang Ratu langsung berbalik menuju ke arah pintu.

"Aku akan pergi, bukan untuk berontak ataupun ingin dicegah. Aku benar-benar akan pergi. Jika Nagi dan Bachira ingin ikut, aku akan mengajaknya pergi bersama!" dalih Rin yang menghentikan langkah ibunya.

✴️✴️✴️

to be continued

Jangan lupa klik bintang🌟
Arigatou ~

[END] ♚ Crepuscular Kingdom ♚ Blue LockTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang