Jam sudah menunjukkan pukul 2.15 menit pagi, namun mata Jenniefer masih saja terbuka tanpa rasa mengantuk. Sejak kembali ke kamarnya, dia merasa gelisah; memikirkan sosok adik pertamanya itu.
Kata-kata Rosie tadi pagi juga kembali menghampiri pikirannya dan itu membuat dirinya merasa gelisah.
Tidak ingin semakin gelisah, Jenniefer akhirnya melangkah keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ke kamar Rosie.
Ceklekk
Dibukanya pintu kamar itu dengan pelan agar tidak mengganggu tidur adiknya itu.
Deg
Badan Jenniefer menjadi kaku. Nafasnya memburu ketika dirinya melihat Rosie yang terbaring tidak sadarkan diri dengan darah yang sudah menggenang dilantai.
"R-Rosie," suara Jenniefer seakan berbisik. Dia bersimpuh disamping sang adik. Tangannya tidak berani untuk menyentuh adiknya itu "R-Rosie, bangun. Ini tidak lucu,"
Setelah mengumpulkan sepenuh tenaganya, Jenniefer akhirnya berteriak "MAMA!!"
Tidak butuh waktu yang lama, Herlina bersama Askara, Jisoora dan Lalice berlari menghampirinya.
Setibanya disana, mereka sontak membeku dengan jantung yang terus berdetak dengan kencang.
"R-Rosie," Lalice yang tersadar akhirnya ikut bersimpuh disamping kembarannya "Rosie, bangun. Jangan bercanda Rosie. Bangun!" teriaknya berusaha membangunkan Rosie.
Sementara Jisoora, dia hanya bisa terdiam dengan tatapan yang nanar.
"Apa yang kamu lihat lagi!? Cepat bawa Rosie kerumah sakit!" teriak Herlina kepada sang suami.
Askara yang tadinya juga terbeku itu langsung beralih menghampiri Rosie, lalu dia menggendong sosok itu.
Mereka dengan segera membawa Rosie menuju kerumah sakit.
*
Hanya isak tangis yang kedengaran didepan ruangan IGD. Sudah pasti isak tangis itu berasal dari Herlina, Lalice dan juga Jenniefer.
Jisoora? Sosok kakak tertua ini hanya terdiam dengan tatapan kosongnya. Sebagai seorang kakak yang tertua, hatinya hancur ketika melihat kondisi adiknya itu. Sekarang Jisoora benar-benar merasa gagal sebagai seorang kakak. Dia tidak ada bersama adiknya itu disaat adiknya membuktikan dirinya sebagai sandaran.
Hah~
Jika sang adik pergi meninggalkan dirinya, Jisoora tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
Bagaimana dengan Askara? Ah, pria ini juga hanya terdiam dengan tatapan yang sulit diartikan. Sejujurnya, dia merasa takut ketika melihat apa yang sudah terjadi, namun ego terus menahan dirinya.
"Lihatlah apa yang sudah kamu lakukan. Gara-gara kamu, Rosie seperti ini!" Herlina memarahi sang suami.
Tidak terima disalahkan, Askara menatap sang istri dengan tajam "Kenapa kamu menyalahkan aku!? Salahkan saja anak bodoh kamu itu! Dia memang bodoh! Apa dia pikir dengan apa yang dia lakukan itu bisa bikin dia pintar? Ck, dasar anak yang memalukan!"
"Cukup Pa! Kalau Papa masih saja ingin mengatai adik aku bodoh, mendingan Papa pergi saja dari sini!" Jisoora akhirnya bersuara. Dia menatap Askara dengan tajam "Dan kalau sesuatu terjadi kepada Rosie, aku bersumpah tidak akan pernah memaafkan Papa!" lanjutnya membuat Askara bungkam.
Ceklekk
Bersamaan dengan itu, seorang Dokter keluar dari ruangan IGD "Dengan keluarga Rosie Skyler?"
"Kami keluarganya Dok," sahut Herlina "Bagaimana kondisi anak saya?"
"Kondisi Rosie kritis. Dia kehilangan banyak darah dan dia membutuhkan pendonor darah dengan segera. Golongan darah Rosie itu tergolong langka, dan stock darah dirumah sakit ini juga sudah habis,"
"Rumah sakit apaan ini!? Kenapa tidak ada stock darah?!" marah Jenniefer dengan nafas yang memburu.
"Maafkan kami Ms,"
"Jen, tenanglah," Jisoora membawa Jenniefer kedalam dakapannya bagi menenangkan emosi adiknya itu.
"Biar saya saja yang mendonorkan darah saya Dok. Saya saudara kembarnya," Lalice akhirnya mengajukan dirinya.
"Jangan gila Lalice!" sambar Askara dengan marah "Kamu tidak bisa mendonorkan darah kamu. Bagaimana kalau kamu kenapa-napa? Pokoknya Papa tidak mengizinkan kamu mendonorkan darah kamu!"
"Tapi kembaran aku butuh aku Pa!" balas Lalice.
"Kita bisa menunggu stock darah dari rumah sakit yang lain,"
"Maaf Tuan, tapi Rosie membutuhkan donor darah dengan segera. Jika terlambat, dia tidak dapat diselamatkan," sang Dokter kembali bersuara.
"Ambil saja darah saya Dok," ujar Lalice tanpa ragu.
"Lalice!" sentak Askara dengan nafas yang memburu.
"Apa Pa!?" marah Lalice "Kalau Rosie pergi meninggalkan aku, aku akan ikut menyusul dia! Aku sudah tidak akan peduli sama reputasi Papa itu!"
Askara menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ancaman dari Lalice membuat dirinya tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah.
"Ya sudah, terserah kamu saja Lice," ujarnya pada akhirnya.
"Dok, ambil darah saya," ujar Lalice kembali menatap sang Dokter.
"Baiklah Ms, sila ikut saya," Lalice bergegas menyusul sang Dokyer yang kembali memasuki ruangan IGD.
"Sila berbaring disana,".
Lalice membaringkan dirinya dibrankar yang sudah tersedia, lalu seorang suster mula mengambil darahnya.
Pandangan Lalice tertuju kearah sosok kembarannya yang belum sadarkan dirinya itu. Dia benar-benar merasa bersalah. Andai saja dia memaksa untuk tidur bersama Rosie, dia pasti bisa menghalang sosok itu daripada melakukan semua ini.
Pukul 6.5 menit pagi, Rosie akhirnya dipindahkan keruang inap. Mama dan ketiga saudaranya setia menemani dirinya, berbeda dengan Askara yang sudah berganjak pulang untuk bersiap-siap dan berangkat ke perusahan.
"Rosie, maafin Kakak," batin Jisoora; menatap wajah Rosie yang betah memejamkan matanya.
Jisoora merasa bersalah. Andai dia sebagai kakak bersikap tegas kepada Askara untuk melindungi ketiga adiknya itu, mungkin salah satu adiknya itu tidak perlu berada di posisi yang sekarang. Andai juga dia mempunyai waktu untuk menjadi sandaran kepada ketiga adiknya, dia mungkin bisa membantu menguatkan adik-adiknya itu.
Andai, andai dan andai. Hanya itu yang mampu dia lakukan saat ini.
"Jen, kamu baik baik saja?" tanya Herlina kepada sosok Jenniefer yang hanya melamun dengan tatapan kosongnya. Lalice pula sudah tertidur disofa dengan menjadikan pangkuan Herlina sebagai bantalannya. Si bungsu itu masih merasa capek setelah mendonorkan darahnya.
"Aku tidak tahu," lirih Jenniefer.
Herlina mengerti. Anak keduanya itu pasti masih merasa shock karena menjadi orang pertama yang melihat sosok Rosie yang terbaring bersimbah darah.
"Mama," panggil Jenniefer tanpa menatap Herlina.
"Kenapa sayang?" sahut Herlina mengelus kepala Jenniefer.
"Kenapa Papa kejam?"
Jisoora sontak menatap kearah Jenniefer ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh sang adik. Dia melirik kearah sang Mama yang juga kelihatan kaget gara-gara pertanyaan itu.
"Maafkan Mama," lirih Herlina.
"Mama tidak ada salah," sambar Jenniefer "Aku hanya butuh jawaban,"
Herlina menggeleng lemah "Mama juga tidak punya jawaban untuk pertanyaan kamu Jen. Maafkan Mama karena tidak bisa mengawal Papa kalian. Gara-gara Mama, kalian harus berada diposisi sulit ini,"
"Aku...," Jenniefer menjeda kata-katanya, lalu dia beralih menatap Herlina dengan air mata yang sudah mengalir keluar "Benci Papa," lanjutnya.
Jisoora mendongak bagi menahan air matanya yang mendesak untuk keluar itu. Sekarang dia sadar kalau bukan hanya dirinya yang terluka gara-gara sang Papa, namun saudaranya juga merasakan hal yang sama.
Tekan
👇
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja(SEGERA TERBIT)
FanfictionSenja merupakan waktu matahari menuju terbenam. Senja dikaitkan dengan perasaan cinta dan rindu yang menggambarkan keinginan Rosie Skyler, sosok yang tidak pernah dihargai oleh sang Papa sehingga takdir memilih untuk membawanya 'pulang'. Rosie suda...