part 34 (day 34)

1.1K 97 9
                                    

Leo terdiam, pipinya terasa sangat sakit karena pukulan yang Nive berikan, ternyata rasanya tak bisa sisepelekan, sepertinya Leo melupakan fakta jika Nive juga seorang pria.

Pipinya terasa keram namun sekarang bukan saatnya ia memikirkan lukanya, pikirannya tengah kacau sekarang, karena perkataan Nive terus terngiang seperti rekaman rusak di dalam pikirannya, perkataan pemuda itu penuh dengan tanda tanya besar didalam pikirannya.

"Kau alasan dia semangat, kau alasan dia ingin sembuh, Apa setelah mati, baru kau bisa mencintai Chris dengan tulus?"

Ia alasan Chris tetap bersemangat, ia alasan pria itu bersemangat melawan rasa sakitnya, Chris mencintainya begitu tulus.

Tapi entah kenapa walaupun tahu tentang semua itu hatinya masih tak bisa jika harus mencintai Chris walaupun hanya sebentar, rasa cintanya hanya untuk Dalfa yang sekarang sudah bisa ia dapatkan namun masalah baru datang.

Kenapa Nive harus datang dan mengatakan semua itu sehingga membuat ia berpikir dengan keras tentang semua yang terjadi sekarang, Chris hanya pernah mengatakan bahwa dia memang suka sakit sejak kecil namun pria itu tak mengatakan jika sakit itu bisa membunuhnya. Memang beberapa hari yang lalu ia melihat sendiri wajah pucat Chris serta darah yang keluar dari hidung pria itu tapi Chris tak mengatakan hal apapun selain kata cinta.

Chris hanya mengatakan jika ia sangat mencintai dirinya kemarin. Pria itu terus mengatakan itu saja tanpa berniat mengatakan apa yang sebenarnya terjadi? Sakit apa yang Chris derita sehingga membuat Nive dan Wasy bisa sepanik ini? Mengapa Chris tak pernah memberitahunya? Padahal Chris sangat mencintai dirinya 'kan?

Leo bingung sekarang, ia tak tahu harus melakukan apa. Ia tak ada rasa apapun untuk Chris namun jika dirinya akan menjadi penyebab atas kematian pria itu maka Leo tak akan mau. Hidupnya pasti akan berantakan kalau itu sampai terjadi, ia tak ingin sampai itu semua terjadi terlebih sekarang dirinya sudah mendapatkan gadis yang selama ini ia inginkan, semuanya akan sia-sia jika hidupnya berantakan bukan?

"Apa aku harus datang kesana untuk melihat keadaannya? Sebagai sesama manusia yang peduli, namun disana akan ada mamanya yang akan nencegahku masuk, belum lagi Hendry ia pasti akan merasa heran jika aku datang kesana. Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?"

Leo bingung, ia bimbang harus bagaimana. Dirinya bisa saja bersikap cuek seperti tak terjadi hal apapun dan melupakan Nive pernah datang kesini dan mengatakan semua itu, tapi rasanya sangat susah untuk mengabaikan pikirannya sendiri.

Sedangkan ditempat lain Wasy menatap  Nive yang masih terlihat kesal, ia memang sengaja tak banyak bicara agar Nive bisa mengatakan semua yang ingin ia katakan namun terhalang rasa bencinya terhadap Leo.

"Kau terlihat sangat tak menyukai Tuan Leo," ujar Wasy yang sudah jelas tahu itu semua, hanya saja ia ingin berbasa-basi sekarang agar rasa kesak pemuda itu berkurang, ia juga merasa benci marah pada Leo, namun untuk benci? Entahlah.

Nive balik menatap Wasy, perempuan itu bertanya hal yang sudah tentu jawabannya, kenapa basa-basinya terdengar sangat menyebalkan.

"Aku sangat membencinya, mungkin jika bisa aku ingin membunuhnya dan membagikan tubuh itu untuk para anjing makan, bahkan tanah pun tak sudi jika dia sampai tersentuh Leo anjing itu!" ujar Nive, amarahnya meledak-ledak sekarang, ia masih belum puas menghajar Leo.

Wasy tersenyum tipis, Nive jika sedang kesal terlihat lumayan lucu. Mungkin karena ia terbiasa dekat dengan pemuda bar-bar itu, maka dari itu rasa risih karena sifat bar-bar Nive menghilang tergantikan dengan rasa gemas yang sering kali muncul saat bertemu dengan Nive.

"Kau akan ditangkap polisi jika melakukan semua itu," ujar Wasy dengan kekehan pelan, yang belum pernah Nive dengar sebelumnya sehingga membuat pemuda itu tersenyun kecil sekarang.

"Aku akan meminta tolong padamu jika itu semua terjadi, beres." ucap Nive, mereka melupakan sejenak masalah yang terjadi tadi, agar tak terlalu membuat diri merasa pusing.

Wasy menggelengkan kepalanya, keduanya menyeruput kopi. Ya, sekedar mampir ke cafe bukan masalah besar 'kan?

Saat ini hujan, walaupun hujan suri tetap saja itu hujan.

"Mengapa kau melihat hujan seperti itu? Kau tak menyukainya?" tanya Nive.

Wasy menggeleng, "tidak, hanya saja hujan selalu terasa sepi bagiku," ucapnya.

Nive menggulir matanya, melihat hujan suri yang lambat laun mulai membasahi sebagian tanah.

"Saat hujan memang selalu mengingatkan kita pada sesuatu yang tak harus dipikirkan," celetuk Nive, ia menghela napasnya. Ia jadi rindu ibunya, sudah lama ia tinggal dirumah pamannya.

"Aku merindukan ibuku," cetus Nive, Wasy tersenyum tipis.

"Eum, aku juga merindukan ayah, jika aku memiliki keajaiban, aku ingin mengulang waktu,"

"Kenapa?"

"Karena penyesalan, dan masa lalu perpaduan yang cocok, jika kita membuat kesalahan dimasa lalu, maka akan menyesal adalah buahnya, dan aku merasakannya saat ini," tutur Wasy, ia tersenyum sendu.

Nive yang mengerti akan suasana hati Wasy, ia menarik tangan Wasy untuk digenggam.

"Kau wanita kuat, apapun kesalahan dan masalahmu, kuharap kau selalu menjadi Wasy yang kuat," ucap Nive, berhasil membuat senyuman Wasy mengembang.

"Tuan, aku benci kehilangan." Wasy menarik tangannya, entah kenapa rasanya aneh saat tangannya digenggam Nive, bahkan bahasa formalnya menghilang begitu saja. Wasy merutuki kesalahannya itu, tak seharusnya ia bersikap tak sopan pada Nive.

"Hey, tak ada manusia yang ingin kehilangan, bedanya kau benci kehilangan sedangkan orang lain hanya tak ingin, jika seseorang pergi dari hidup kita, terimalah. Mungkin itu yang terbaik untukmu dan juga orang itu," tutur Nive.

Wasy hanya diam tak menanggapi lagi, apa ayahnya pergi adalah hal terbaik untuknya? Dewasa tanpa seorang ayah, sangat menyakitkan.

"Kau ingin kopi lagi?" Nive melihat gelas kopi Wasy sudah habis, namun Wasy menggelang.

"Tidak, kopi tak terlalu baik untuk lambungku," ucapnya.

"Merokok tak terlalu buruk," cetus Nive, membuat Wasy mencubit lengannya.

"Tuan, jika kau ingin mati mengapa tak loncat dari gedung saja? Jangan menunda dengan cara merokok," ucap Wasy, Nive meringis, ia menarik tangannya agar tak dicubit Wasy lagi.

"Aku hanya becanda, ayolah ... jangan bersedih lagi, aku lebih menyukai Wasyku yang galak dan tegas, dibanding yang diam dan bicara hal menyedihkan," tutur Nive.

Wasy membuang pandangannya, Wasyku? Hey, walaupun Wasy sehari-harinya tak memikirkan masalah asmara, tetap saja saat seorang pria mengatakan hal seperti itu, ia juga bisa salah tingkah.

"Kau kenapa? Kau malu?"

"Diamlah Tuan, bicaramu semakin melantur. Sepertinya kita harus pulang." Wasy berdiri dari duduknya, menimbulkan kerutan dikening Nive.

"Kau malu kenapa?" tany Nive, demi neptuna Wasy ingin sekali menenggelamkan Nive ke dalam samudera.

Pertanyaan konyol, yang semakin membuatnya malu.

____TBC

day 34, Nive X Wasy?

Regret ( LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang