1 : Bisa Jalan?

7.5K 462 50
                                    

EMBUN anak bontotnya Bapak Juanda yang sulit banget diatur apalagi soal disuruh bangun pagi. Harus ada teriakan merdu dari Bunda supaya anak gadis itu sadar dari mimpi panjang yang isinya gak jauh-jauh dari Regas.

"Embunn! Bangunn! Anak perawan kalo gak dibangunin gak akan bangun!" Omel nyonya rumah yang sudah berdiri lengkap dengan spatula di tangan kiri dan gayung berisi air penuh, untuk apa lagi jika bukan untuk mengguyur anak gadisnya kalau susah bangun.

Sementara Embun yang masih memejamkan mata malah tersenyum lebar sambil memeluk erat guling di sebelahnya. Entah mimpi apa, tapi itu berhasil membuat Bundanya naik pitam.

"EMBUNN! Bunda hitung sampai 3 gak bangun, bunda siram ya!" Embun masih setia memejamkan mata dan kini makin nyaman dengan menaikkan selimut setinggi telinga.

"SATU, DUA, TI—"

Embun langsung membuka mata, bola matanya melotot saat Bunda benar-benar sudah mengangkat gayung tepat di atas kepalanya.

"Ini bangun nih, melek nih udah melek Bun!" Wanita cerewet itu segera menyingkirkan gayung dari atas kepala anaknya. Kalau sampai basah pun dia juga yang rugi, Embun mana mau diribetin sama urusan jemur kasur. Pokoknya anak gadis itu terima jadi.

"Kamu nih, kebiasaan kalo tidur malem-malem. Pagi susah bangun, gak malu sama anak tetangga? Mila pagi-pagi udah bantu Ibunya belanja ke tukang sayur, nyapu, ngepel! Ini kamu malah baru bangun kaya tuan putri aja!" Embun mencebikkan bibirnya. Mila si anak tetangga itu selalu jadi masalah Embun si anak bontot. Selalu saja dibanding-bandingkan, padahal ya menurut Embun dia itu cukup berbakti kok sebagai anak.

Embun rajin bantu Papanya cuci mobil, ya meski minta tarikan dana 50 ribu sebagai bayaran atas jasanya sih. Tapi itu Embun lakukan dengan kesadaran sendiri kok, tanpa disuruh. Lagipula ngapain dia nyapu ngepel kalau pekerjaan itu sudah ditangani sama Mbak Yuyun.

"Ih Bunda pagi-pagi ngomel. Anaknya bangun itu disambut dengan senyuman dong. Bukannya malah marah dan banding-bandingin aku sama Mila. Lagian kan kita beda. Setiap anak itu punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing Bun. Bunda gak boleh membandingkan apa yang Bunda miliki. Lagipula males begini juga darah daging Bunda loh." Wanita berdaster batik itu memutar bola matanya malas. Kapan sih Embun dinasehati gak jawab? Anak itu selalu menjawab apapun yang Bundanya ucapkan.

"Gak tau lah, pusing Bunda ngadepin kamu. Papa udah siap, Abang juga. Gak usah mandi, cukup cuci muka dan sikat gigi aja kita sarapan bareng."

Kebiasaan di keluarga Juanda, makan bersama itu wajib hukumnya. Gak ada yang boleh makan sendirian kecuali Mbak Yuyun yang suka gak enak kalau diajak makan satu meja. Katanya itu meja majikan.

Dengan kemampuan bergerak secepat kilatnya, Embun berhasil cuci muka dan memenuhi teriakan Bunda yang mulai kehabisan sabar. Embun berlari terburu menuruni anak tangga hingga pada anak tangga terakhir, gadis itu menapaki pijakan yang salah. Telapaknya terpelintir dan teriakan menggelegar dari rumah keluarga Juanda. Papa si paling sayang anak segera berdiri mencapai si bontot yang sudah merintih kesakitan.

"Kan, Bunda bilang apa!" Abang melirik Bundanya bingung. Selama 15 menit dia duduk dengan Bunda, wanita itu hanya mengomel dan tak ada larangan yang ia ucapkan.

"Papa sakit Paa~" rengek Embun sambil menyodorkan tangannya minta digendong. Pria jangkung yang paling gak tahan lihat anaknya sakit itu segera membopong tubuh Embun, membawanya ke sofa ruang keluarga seraya meluruskan kaki Embun.

Gadis itu terisak kala Bundanya menyentuh pergelangan kaki yang perlahan membiru. Ia meringis ketika sadar putrinya betulan cidera.

"Halah keseleo doang itu." Komentar si sulung yang gak tertarik sama sekali untuk mengecek kondisi adiknya.

Embun Paginya RegasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang