7. Tragedi Mi Ayam

2.5K 361 52
                                    

SETELAH dibuat patah hati lagi oleh Regas apakah berarti Embun galau? Jelas Iya. Tapi kali ini remaja itu memilih menyalurkan patah hatinya pada sebuah bola tenis yang ia pukul berkali-kali. Peluhnya sudah bercucuran, mengalir deras di kening sampai pelipisnya. Bahkan matahari mulai tenggelam. Mbak Yuyun yang jadi korban hari itu sudah duduk selonjoran sambil memijit betisnya yang mati rasa. Gimana gak mati rasa? Belum bisa tenis tapi dipaksa meladeni permainan gila Embun.

Jangan dikira gadis itu gak punya kemampuan. Biarpun lemah dalam hal akademik, perdapuran, bahkan bersolek--Embun itu atletis. Segala macam olahraga dia coba. Kecuali panjat tebing, karena Bapak Juanda takut anak gadis satu-satunya itu baret-baret. Kalau Bunda sih masa bodoh, asal gak bikin onar saja. Cuma jangan dikira wanita anggun itu tak peduli--buktinya saat ini Mbak Yuyun sengaja dia utus untuk menemani Embun.

"Mbak, pulang yuk? Saya baru gadoin tempe doang loh hari ini, belum makan apa-apa. Masa ditatar sampai sekarat gini sih Mbak?" Embun memukul bola berwarna hijau kekuningan itu, sangat keras hingga pukulannya terdengar nyaring.

Gadis itu menoleh, meringis begitu melihat keadaan Mbak Yuyun.

"Capek ya Mbak?" Mbak Yuyun melengos, sedikit kesal dengan gadis di hadapannya.

"Habis ini aku traktir mi ayam pos security deh, gimana?" Mbak Yuyun langsung sumringah begitu mendengar kata mi ayam terucap dari bibir Embun. Gak pakai lama, kaki yang tadi gemetar langsung sehat walafiat. Wanita itu berdiri dengan raket tenis di tangan kirinya.

"Sekarang ya Mbak? Kalo saya sakit emangnya Mbak Embun mau gantiin ngepel kaya biasanya?"

Nyonya Juanda memang punya sedikit aturan cukup unik di rumahnya. Mbak Yuyun itu memang tugasnya beres-beres, tapi weekend itu tugas beres-beres mutlak jadi tugas bersama--bahkan Mbak Yuyun sering diliburkan saat weekend. Kalau sakit pun sama, Embun langsung menjabat jadi ART di rumah Pak Juanda. Kalau sudah demikian, gadis itu bakalan merengek keras minta dibantu--sayangnya gak ada yang mau meringankan beban si bungsu--ya karena di hari biasa, Embun yang super rewel dan merepotkan. Makanya, untuk Nyonya Juanda memperbudak anaknya beberapa jam itu bukan hal yang kelewat batas.

"Ish jangan sampai deh, minimal aku cuma mau bantuin cuci piring ya Mbak. Gak mau lagi suruh ngepel. Lagian Pak Juanda ya, punya rumah kegedean kaya yang bakal ditempatin aja." Mbak Yuyun meringis, majikannya itu emang rada aneh.

"Hush! Itu rejekinya Bapak Mbak, jangan digituin. Mbak Embun harusnya bersyukur. Rumah saya di kampung ya Mbak, dulu itu cuma sepetak--"

"Iya Mbak, mepet sawah terus kadang ada ular masuk rumah. Aku sampai hafal. Udah, makan mi ayam aja ya?" Cengiran lebar terbit di bibir Mbak Yuyun, strategi rumah sepetaknya berhasil membuat majikannya malas meneruskan kegiatan.

Kini keduanya berjalan beriringan, menuju pos security yang kalai sore dipenuhi gerombolan warga pecinta mi ayam keliling. Sedikit sepi dari biasanya, Embun langsung berlari begitu mendapati bangku security kosong. Belum ada yang mengantri, kecuali seorang pria berambut cepak yang berdiri membelakanginya.

Mungkin larinya Embun terlalu cepat sampai tak menyadari, siapa sosok yang juga disana.

"Bang, mi ayam 2 makan disini yaaa! Seperti biasa satunya pakai bumbu ayam aja kuahnya." Pria di samping Abang Budi itu menoleh, langsung berpapasan dengan wajah kucel Embun. Gadis itu berdecih, langsung buang muka begitu wajah tampan Regas menyapanya.

"Bang, agak cepet ya. Mbak Yuyun udah kelaperan." Wanita dewasa yang baru saja sampai itu langsung kebingungan begitu namanya disebut.

"Bentar ya Neng, Mas Regas dulu. Agak banyak pesenannya." Embun melirik mangkok-mangkok kosong yang diisi minyak ayam satu persatu oleh Bang Budi.

Embun Paginya RegasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang