SEPULUH

8.6K 655 41
                                    

Vote, komen, and happy reading 🧡
.
.

Millo memandang kamar seberang yang tak hidup lampu selama dua hari. Bukan kebiasaan Hages sekali tidak menyalakan lampu kamar jika malam hari begini. Millo menghela napas panjang, sejujurnya ia merindukan sosok kasar dan suka bicara seenaknya itu. Tapi ego masih menguasainya.

"Kangen mah disamperin, jangan dilihat doang." Suara Taella membuat Millo menoleh, pria cantik itu membawa kotak P3K untuk mengobati luka Millo. Ia sendiri sudah dengar apa yang terjadi pada putra tunggalnya ini.

"Hages gak ngerasa bersalah sedikitpun kayanya, Bu. Bahkan tadi dia lebih peduli Lijen dibanding Emil."

"Kata siapa?" Taella menyahut seraya menarik lengan Millo untuk duduk di ranjang, sementara tangannya bergerak mengobati luka sang anak. Sejujurnya Taella senang dan kasihan disaat yang bersamaan. Senang karena wajah tampan putranya semakin tampan dengan luka ini, dan kasihan karena dirinya sakit, karena terluka.

"Hages marahin Lijen tadi, sampai minta maaf ke bubu. "Millo terkejut, benarkah?

"Bubu, sayang banget ya sama om Jaelan?"tanya Millo.

"Kalau kamu gak bisa terima, gak papa Mil. Pendapat kamu juga jadi bagian terpenting untuk keputusan bubu. Kamu lebih berharga dari perasaan baru ini." Millo menatap wajah Taella yang kini membereskan obat-obatan ke dalam kotak.

"Bubu gak cinta lagi sama ayah?" tanya Millo. Taella tersenyum kecil, jemarinya mengelus rambut Millo yang agak panjang.

"Selalu, ayah kamu gak bakal terganti. Bubu cuma menemukan tempat pulang yang baru. Dan kalau kamu gak siap kita punya pulang yang baru gak papa." Millo terdiam, banyak ketakutan dalam dirinya tentang keputusan besar bubunya ini. Bagaimana jika calon ayah barunya ini hanya sayang pada bubunya, bukan dirinya. Bagaimana nanti kehidupan mereka setelah menjadi keluarga. Millo tak ingin pindah meninggalkan rumahnya disini. Rumah yang memiliki kenangan bersama ayah dan juga Hages.

"Bubu yakin om Jaelan bisa bikin bubu bahagia?" Taella mengangguk yakin, tentu saja.

"Emill gak mau kita ninggalin ayah, Bu. Setelah menikah pasti kita akan ikut om Jaelan. Dan semua kenangan di rumah kita bakal tinggal." Taella tersenyum lagi, mengelus rambut Millo. Sebenarnya pria cantik itu sudah tahu apa yang dikhawatirkan Millo.

"Bubu udah bilang sama om Jaelan, kita bisa tinggal bersama disini. Di rumah kita."

"Beneran?" antusias Millo. Taella mengangguk sebagai jawaban. "Makasih,Bu. Emill setuju bubu sama om Jaelan, asal bubu janji bakal bahagia." Taella memeluk Millo." Bubu janji."

Tok tok

Ketukan dari jendela membuat pelukan mereka terlepas. Millo melihat siluet milik Hages diluar sana. Memangnya siapa lagi yang punya kebiasaan memanjat jendelanya selain Hages?

"Bicarain, Mil. Coba liat dari sudut pandang Hages. Kenapa Hages milih diam," tutur Taella.

"Tapi-"

"Kalau gak mau kandas segera perbaiki, bubu keluar dulu." Taella langsung beranjak meninggalkan Millo yang kembali menghela napas panjang.

"Mill, gue tau lo di kamar. Gak papa kalau gak mau bukain. Gue cuma mau minta maaf sama lo. Hal yang harusnya gue lakuin dari awal kita berantem." Millo tak berniat membukakan jendela kamarnya, namun pemuda itu memilih mendekat ke arah Hages yang berbicara dibalik jendela dengan gorden yang menutupi kacanya.

Backstreet | Markhyuck Au (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang