Pagi ini, suasana kediaman keluarga Ravindra sedikit berbeda, lebih damai dari biasanya. Sang nyonya rumah sendiri sangat heran melihat bapak dan anak ini sudah anteng di meja makan menyantap sarapan masing-masing, seperti sudah direncanakan sebelumnya.
Hana sudah hapal watak keduanya. Baik Haechan maupun Asha tidak akan bangun pagi kalau weekend begini. Bangun jam sepuluh saja sudah syukur. Akan tetapi, hari ini berbeda. Sepertinya ada sesuatu diantara mereka. Apalagi saat Hana mau membangunkan keduanya, keadaan kamar sudah rapih, bahkan seprainya juga diganti.
"Ada yang gak beres," gumam Hana. Matanya memicing curiga menatap Haechan dan Asha.
"Ih, Mama awas matanya keluar," sahut Asha menyadarinya tatapan dari sang Mama.
"Katakan, kalian menyembunyikan apa dari Mama?"
"Kita gak sembunyiin apa-apa kok, iya kan, dek?" Haechan memandang Asha yang mengangguk-angguk.
"Jangan bohong, sejak tadi sikap kalian aneh." Hana tetap bersikukuh agar keduanya mengaku menyembunyikan sesuatu.
"Kita tidak bohong. Kan, Mama sendiri yang bilang bohong itu dosa, nanti Tuhan marah."
Hana mendengus, kembali menyantap sarapannya. Ia yakin betul ada sesuatu dibalik sikap suami dan anaknya ini. Gerak-gerik mereka begitu mencurigakan, sesekali ia menangkap keduanya saling melempar kode. Awas saja, ia akan mencari tahu sendiri nanti.
Ngomong-ngomong, ini sudah tiga tahun sejak Hana bangun dari komanya. Kurang lebih satu bulan lamanya ia menjalani terapi sampai dinyatakan benar-benar pulih oleh dokter dan bisa kembali menjalani kehidupannya.
Banyak yang ia lewati selama tiga tahun belakangan ini. Awal-awal ia merasa cukup sulit, menjadi seorang istri sekaligus ibu tidaklah mudah. Ia harus bangun pagi-pagi menyiapkan sarapan dan keperluan keduanya, kadang-kadang ia kewalahan. Namun, perlahan-lahan ia mulai terbiasa dan menikmati kehidupannya sebagai ibu rumah tangga.
Hubungan Haechan dan Linda pun sudah membaik. Berterima kasihlah pada Hana yang mendamaikan keduanya. Lebih tepatnya ia memaksa sang suami untuk memaafkan Linda. Rutinitas berkumpul tiap weekend pun masih terjadi seperti biasanya. Akan tetapi, sepertinya hari ini Hana tidak bisa ikut. Dia ada janji sama Jesy.
"Aku boleh—"
"Boleh, kok," sela Haechan cepat, membuat Hana terperangah.
"Omongan aku aja belum selesai loh, emang kakak tahu aku mau ke mana?"
"Mau keluar sama Jesy, kan? Jeno udah ngasih tahu aku."
Hana berdecak, untuk apa pula Jeno memberitahu suaminya. Ia juga bisa kok meminta izin sendiri.
"Adek–"
"Tidak, Mama. Adek mau kerjakan PR sama Papa."
Lama-lama Hana kesal ucapannya dipotong terus dari tadi. Rasa curiganya kian bertambah melihat tingkah aneh keduanya. Kalau saja ia tidak ada janji, sudah ia awasi mereka dari tadi.
"Ya udah, kalau gitu Mama berangkat dulu," pamit Hana berjalan keluar diikuti oleh Haechan dan Asha.
"Gak mau aku antar?" tawar Haechan dibalas gelengan.
"Taksi pesanan ku udah datang, sayang kalau dicancel."
Haechan mengangguk. "Hati-hati, jangan lupa kabarin kalau udah sampai."
"Have fun, Mama!" teriak Asha sambil melambai yang hanya dibalas anggukan disertai senyuman.
Setelah taksi yang ditumpangi Hana menghilang dari halaman, Haechan serta Asha saling melempar senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ii] The Perfect Papa✓
General FictionSELESAI [Sequel of My Perfect Husband] Setelah menjadi suami yang sempurna untuk Hana, kini Haechan berusaha menjadi papa yang sempurna untuk putri kecilnya.