"Masih sakit?" tanya Haechan sambil memijat kaki Hana. Beberapa menit yang lalu sang istri melakukan terapi, akibatnya seluruh tubuhnya terasa sakit. Tak tega melihat Hana terus mengeluh, ia menawarkan diri untuk memijatnya.
"Agak mendingan. Kakak kalau capek udahan aja," ucap Hana. Sebenarnya tak enak hati juga merepotkan sang suami.
Haechan mengangguk menyudahi kegiatannya. Tangannya lumayan pegal juga. Ia lalu mengambil sebuah paper bag yang berada di bawah ranjang Hana.
"Kemarin aku nggak sengaja lewat toko buku, aku mampir bentar beliin kamu beberapa novel dan buku dongeng. Kalau bosan, kamu bisa baca nanti." Mengeluarkan buku-buku novel romansa yang dibelinya.
Hana tersentuh, ia mengucapkan banyak terima kasih. Entah cuma perasaannya saja atau Haechan memang makin pengertian. Hatinya jadi meleleh atas semua perlakuan sang suami.
Ngomong-ngomong, Haechan sudah tiga hari di sini. Selain untuk menemani dan menghabiskan waktu bersama sang istri, ia juga sengaja menghilang dari pandangan keluarganya untuk sementara waktu. Mungkin, ia salah karena memukul rata semuanya karena satu-satunya dalang dari masalah ini adalah sang Mama, Linda. Akan tetapi, Haechan sudah kepalang kecewa. Kalau boleh jujur pun, ia juga sangat merindukan putri kecilnya. Namun, apa boleh buat, egonya sangat mendominasi saat ini.
"Kak, mau makan buah," ucap Hana membuyarkan lamunan Haechan.
"Eh, mau apa tadi?"
"Mau buah."
Haechan mengangguk, mengambil satu buah apel dan mengupasnya lalu memotongnya beberapa bagian. "Mau aku suapi atau makan sendiri."
Hana tidak menjawab melainkan membuka mulutnya. Melihat itu Haechan tertawa kemudian memasukkan satu potong apel ke dalam mulut sang istri.
"Enak?" tanyanya dibalas anggukan. "Manis. Kakak coba, deh."
Ternyata benar, apel ini memang manis tapi, di mata Haechan, sang istri lebih manis. Halah, dangdut.
"Oh iya, Kak Jeno, Renjun, sama Nathan ke mana? Kok nggak pernah ke sini?" tanya Hana sedikit penasaran. Pasalnya dirinya sudah tiga hari di rawat, masa tidak ada satupun dari mereka yang datang. "Mama sama Papa juga."
"Kangen sama mereka?"
Lantas Hana mengangguk.
Haechan mendengus. "Aku sengaja nggak kasih tahu. Soalnya mereka nanti ganggu, aku kan mau sepuasnya sama kamu."
"Gombal banget," cibir Hana tapi, tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya.
"Tapi kamu suka, kan?"
"Dih, siapa bilang?"
"Itu buktinya pipi kamu merah."
Sial, Hana semakin malu.
"Pura-pura nggak lihat aja kenapa, sih?" Hana sebal. Sepertinya Haechan memang sengaja membuatnya makin malu. Sedetik kemudian rasa kesalnya hilang melihat sang suaminya tertawa lepas. Sudah lama sekali Hana tak melihat tawa itu. Tanpa sadar bibirnya ikut tersenyum.
"Kalau udah sembuh temani aku ketemu Ayah, ya?" Ucapan Hana membuat Haechan berhenti tertawa. Tubuhnya tiba-tiba menegang saat netranya bersitatap dengan obsidian milik Hana.
"Aku udah tahu semuanya, kak." Hana tersenyum kecut. "Tadi, aku hubungin mantan sekretaris Ayah, dan dia kalau Ayah udah menyusul Bunda."
"Maaf, aku nggak maksud bohongin kamu."
"Aku ngerti, kok." Hana tahu alasan Haechan menyembunyikan kebenaran mengenai Ayahnya. Lelaki itu hanya tidak mau kondisinya kembali drop saat mengetahui kalau Ayah telah meninggalkan dunia ini. Meski sekujur ia sangat sedih, setidaknya Ayahnya tak merasakan sakit lagi dan sudah bertemu dengan Bunda di atas sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ii] The Perfect Papa✓
Ficção GeralSELESAI [Sequel of My Perfect Husband] Setelah menjadi suami yang sempurna untuk Hana, kini Haechan berusaha menjadi papa yang sempurna untuk putri kecilnya.