Bagian 11 : Asha Kenapa?

305 38 2
                                    

Mangkir dari tanggung jawab bukanlah sifat Haechan, apalagi menyangkut soal pekerjaan. Namun, apa mau dikata, sang anak lebih penting dari segalanya. Asha adalah prioritas utamanya.

Barusan ia dapat telepon dari salah satu guru Asha mengatakan bahwa anak itu minta dijemput. Tentu saja ia keheranan, ini bahkan belum waktunya pulang. Sudah pasti bocah itu kenapa-napa.

Untungnya, Jeno bisa diajak kerja sama. Saudaranya itu mau menggantikannya memimpin rapat hari ini. Jadinya, ia bisa menjemput sang putri.

Tak sampai sepuluh menit, mobil Haechan terparkir di depan sekolah Asha. Lelaki itu segera menghampiri si kecil yang duduk di dekat gerbang, ditemani oleh salah satu guru.

"Adek kenapa?" tanya Haechan khawatir melihat raut wajah sendu Asha, bibirnya melengkung ke bawah menahan tangis.

Asha tak menjawab, melainkan merentangkan tangannya memeluk leher sang Papa dan menenggelamkan wajahnya di sana.

"Adek?" Lagi-lagi tak ada sahutan membuat Haechan yakin ada yang tidak beres dengan putrinya. Ia menoleh menatap sang guru, bertanya apa yang terjadi pada Asha.

"Lebih baik tenangkan dia dulu. Nanti saya beritahu anda."

Haechan mengangguk dan berpamitan pulang. Tak lupa ia berterima kasih karena sudah menemani Asha.

Haechan tak langsung menjalankan mobilnya melainkan berdiam diri di dalam dengan Asha dalam dekapannya. "Adek kalau ada masalah cerita sama Papa." Tangannya bergerak mengelus surai sang putri. "Papa nggak bakal tahu kalau adek nggak cerita."

"Ada yang ganggu Adek di sekolah?"

Haechan menghela nafas berat. Lagi-lagi tak ada sahutan. Asha masih enggan bersuara.

Beberapa saat keduanya diselimuti keheningan, Asha akhirnya bersuara, "Mau ketemu Mama," bisiknya pelan.

"Kalau begitu Adek pindah dulu, Papa mau nyetir." Bukannya menurut, si kecil malah mengeratkan pelukannya.

Haechan mendesah pelan. Si kecil enggan beranjak dari pangkuannya. Tidak ada pilihan lain, ia harus mengemudi dengan posisi seperti ini meski agak susah. Ia tak mau membuat Asha semakin sedih.

Cukup lama mereka diperjalanan hingga mobil Haechan berhenti di tempat Hana dirawat. Ketika ingin keluar dari mobil, ia mendengar dengkuran halus dalam dekapannya. Rupanya, putri kecilnya tertidur.

Dengan hati-hati ia membawa Asha masuk dan membaringkannya di kasur. Tatapannya sendu melihat kondisi sang putri. Bahkan saat tertidur pun guratan kesedihan di wajah Asha nampak jelas. Entah apa yang sudah dialami oleh putrinya.

Tiba-tiba Haechan teringat sama ucapan guru tadi. Ia menyematkan kecupan di kening Asha kemudian beranjak dari sana.

Tak lama setelah kepergian Haechan, Asha terbangun. Bocah itu menatap sekeliling sembari mengumpulkan nyawanya. Netranya berhenti pada sosok yang terbaring dengan beberapa alat medis ditubuhnya.

Moodnya kembali jelek, apalagi kejadian di sekolah tadi muncul di kepalanya. Perlahan ia mendekat dan duduk di samping Hana. Tangan mungilnya menggenggam tangan sang Mama, mengelusnya pelan.

"Mama kapan bangun?" tanyanya sedih. "Mama tidak lelah tidur terus? Adek saja capek kalau tidur seharian."

"Mama... Ayo bangun..." Suaranya mulai bergetar menahan tangis. "Bangun Mama, Adek kangen."

"Bangun, Ma..." Sedikit menggoyangkan lengan Hana. "Mama jangan seperti mereka, jahat sama Adek."

"Mama..." Suara Asha mengecil disertai bulir air mata jatuh dari pelupuknya. Tangis tak bisa lagi ia bendung. Bocah itu menangis di hadapan Mamanya, menceritakan segala sesuatu yang dialaminya akhir-akhir ini.

[ii] The Perfect Papa✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang