13-Final Test

18 4 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

***

Awali pagimu dengan ulangan Matematika 2 jam. Mungkin slogan itu bisa menggambarkan betapa stresnya Zameera saat ini. Dihari pertama ujian kelulusan, ia harus bisa mengerjakan soal matematika yang dilanjut dengan soal agama.

Sengaja pihak kurikulum menempatkan matematika di hari pertama agar para murid bisa bernafas dengan lega untuk beberapa hari ke depan dan agar mereka bisa fokus pada hapalan Quran setelahnya.

Sebenarnya itu tidak terlalu buruk, namun Zameera justru merasa lebih tertekan dari biasanya. Ia merasa begini karena teringat oleh ucapan ibundanya sebelum ia berangkat sekolah.

“Nanti soalnya dibaca baik-baik ya, Nak. Jangan buru-buru, santai aja tapi tetep teliti. Nilai Meera harus tinggi ya, biar bisa masuk ke sekolah pemerintah provinsi. Kalo nilai Meera tinggi, Mama akan berterima kasih banget ke Meera karena Meera udah buat Mama bangga. Ya Nak, Mama bilang ini juga untuk masa depan Meera. Meera harus sukses pokoknya.”

Meski Daleela tidak mengucapkannya dengan nada tinggi, namun hal itu sangat membekas dalam benak Zameera. Alhasil dia berusaha dengan segenap jiwa raganya agar nilai ujiannya bisa tinggi.

Seperti saat ini, setiap kali menjawab soal bibirnya tak henti berkomat-kamit melafalkan beberbagai macam doa dan sholawat dengan volume yang sangat pelan agar jawaban yang ia pilih adalah jawaban yang tepat.

“Mah, semoga Zameera gak mengecewakan Mama ya,” katanya disetiap detik terakhir dia selesai mengerjakan soal ujian.

Jika di sekolah Zameera nampak santai padahal pikirannya kusut, lain hal ketika ia sedang di rumah. Gadis itu berusaha belajar tanpa gangguan tapi sepertinya tidak bisa, Azlan-abangnya itu selalu saja mengganggunya.

Ketika Zameera sedang diberi wejangan dan motivasi oleh ibundanya, Azlan selalu hadir untuk mengacau. Seperti saat ini, tiba-tiba ia masuk ke dalam kamar adiknya itu tanpa mengetuk pintu dan dengan lancangnya melempar bola kertas sehingga mengenai kepala adiknya.

“Sibuk banget Tuan Putri,”

“Berisik setan!”

“Weh, santai dong. Inget gue abang lo!”

“Bodo amat,”

Tak peduli, Azlan berjalan mendekat ke arah adiknya itu. Dia memperhatikan wajah murung adiknya.

“Belajarnya yang ikhlas dong, biar masuk ke otak,” katanya sambil mengusap wajah Zameera.

Geram, Zameera hanya bisa mengepalkan tangannya.

“Mau lo apa sih, Bang? Kalo Cuma mau ganggu gue doang, mending lo pergi,”

“Yaelah sok banget sih lo, santai aja kali. Lo juga bakal lulus dari Al-Agha walaupun nilai lo kecil,” bengang mendengar perkataan tak berbobot Azlan, Zameera akhirnya meledak juga.

“Buat lo mungkin nilai akademik ini gak ada gunanya, yakan?! Tapi buat gue, nilai ini adalah segalanya! Masa depan gue tergantung dengan nilai-nilai ini. Lo pasti gak pernah disuruh mama buat masuk ke sekolah pemerintah, kan? Jadi mending lo diem!”

“Hmph! Lo ngomong gitu seolah kayak lo aja yang bakal jadi tulang punggung keluarga,”

“Kalo iya kenapa?! Sepertinya emang gue yang akan jadi tulang punggung keluarga. Eh Bang, lo dengerin gue baik-baik ya, mending lo sekolah yang pinter, belajar pelajaran hidup biar lo tau sekeras apa rasanya dituntut masa dunia dan harapan ortu!”

“Hoam! Gak dulu deh, males…” Azlan tak peduli. “Meer, lo gak usah dewasa. Inget umur lo baru 14 tahun,”

“Oh really? Kalo gitu seharusnya lo malu sama umur lu yang bentar lagi 17 tahun tapi belum jadi anak yang berguna,”

Merhaba, Zameera!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang