Sinar sang mentari yang menembus kaca jendela mengusik kekhidmatan dalam tidur yang kupaksakan. Aku mencoba untuk memejam, sekadar menuruti tubuh yang memberontak untuk memiliki waktu bagi mereka untuk rehat sejenak.
Sabtu pagi yang paling kubenci.
Aku menatap ke arah luar jendela. Ada sebuah pohon mangga yang tumbuh bersama buah-buahnya dengan baik. Di sebelahnya, mama menanam pohon-pohon tomat dengan pot dari wadah bekas. Tomat itu pun tumbuh dengan indah, warna jingganya merona, tak kalah merona dengan langit jingga sore hari.
Aku iri dengan mereka. Aku selalu bangun dalam keadaan yang menyesakkan. Ada hal yang hilang. Ada bagian yang tak lagi lengkap. Potongan itu hilang, berserak entah kemana. Di manapun aku mencarinya, tak kutemukan ia.
Ponsel yang mungkin telah lelah memutar lantunan nada melankolis semalaman itu teronggok dingin di atas nakas. Aku meraihnya, menghidupkan layarnya. Menatap empat digit angka yang menunjukkan pukul berapa sekarang.
Aku membuka aplikasi pesan yang selalu aku buka ketika menggunakan ponsel. Menekan sebuah ruang obrolan dengan seseorang yang akan selalu tersemat di barisan paling atas. Menekan ikon panggilan, dan menunggu panggilanku terhubung dengan ponselnya.
Detik demi detik, dering ponsel itu menggema di dalam ruangan bersama bunyi detak jarum jam. Tak kunjung ada balasan. Aku menatap layar ponselku. Ada wajahnya yang berbentuk ikon bulat di tengah atas layar, dengan tulisan memanggil di bawahnya.
Akan selalu berakhir sama. Panggilan tak terjawab. Panggilan yang tidak akan pernah tersambung seperti dulu lagi.
Ribuan pesan telah terkirim. Hanya saja, ia tak pernah sampai.
"Untuk hari ini aja Gas, ayo angkat..."
Aku menatap langit-langit kamar. Berharap aku menemukan jawaban atas segala ribuan pertanyaan yang akan selalu menyerang isi kepala. Tentang kapan aku akan bertemu kepingan yang hilang itu. Tentang bagaimana aku harus menjalani hari-hari bersama dengan perasaan kosong yang hidup di dalam relung dada ini?
"Aku nggak kemana-mana, Ra."
Aku menoleh ke arah pintu.
"Aku akan selalu hidup di manapun kamu berpijak, Ra."
Punggungku yang merebah di atas ranjang kini tegak untuk menatapnya yang perlahan mendekat, lalu mengusak pucuk kepalaku.
"Sana gih, mandi. Jangan lupa sarapan. Nanti asam lambung kamu naik lagi."
Tuhan, sudah ribuan kali aku menjerit. Meratapi luka yang semakin lama semakin menganga ini. Menjerit karena aku tidak sanggup harus hidup bersama bayangannya yang fana; sementara luka yang tercipta ini terlalu nyata rasa sakitnya.
Tangan yang lama tak kugenggam itu mengusap air mata yang mengalir deras pagi ini. Bibir yang telah lama tak kulihat cerah senyumnya itu kini tampak lagi.
"Jangan sedih," mata yang indah itu...akan selalu membuat lukaku semakin menyakitkan.
"kamu nggak perlu cari aku kemana-mana. Aku akan selalu di manapun kamu mencari aku, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika | Park Sunghoon ✓
FanfictionDi mana kah kau sekarang? Aku telah melangkah begitu jauh untuk mencarimu. Dari tempat awal kita memulai hingga akhirnya kau hilang pun telah kusambangi. Tak tampak lagi senyum secerah mataharimu. Tak ada lagi kata-kata sehangat pelukan di musim hu...