empat: bagaimana aku harus hidup, Gas?

17 9 0
                                    

Pukul dua pagi.

Mataku tak jua ingin memejam. Rasa kantuk yang telah menyerang semua penghuni rumah tak juga menghampiriku. Membuatku terdiam sembari terduduk di atas bangku, membuka lembaran album berisi foto-foto kenangan bersama Bagaskara.

Di halaman pertama, dua lembar foto berisi wajah kami yang pada saat itu sedang menikmati liburan di Bukit Dieng. Aku mengenakkan jaket berwarna coklat, sedangkan Bagaskara mengenakan jaket warna hitam. Hari itu aku sangat senang karena seharian menghabiskan waktu bersamanya. Menikmati kuliner yang ada di sana dan mengunjungi tempat-tempat wisata berdua dengannya.

Di halaman berikutnya, ada foto Bagaskara dengan seragam SMA lengkap beserta atribut-atributnya, memegang sebuah piala yang ia dapat karena memenangkan kejuaraan olimpiade matematika tingkat provinsi. Hari itu, aku begitu bangga padanya. Laki-laki berstatus kekasihku itu memang memiliki otak yang cemerlang, dan aku yang isi otaknya tak seberapa ini sering terbantu dalam mengerjakan tugas matematika.

Halaman demi halaman kubuka, dan tiba saatnya aku membuka halaman di mana kami akhirnya lulus SMA dan merayakan perpisahan. Ia mengenakan jas hitam, sedangkan aku memakai kebaya berwarna biru langit. Hari itu aku menangis karena artinya, aku harus berpisah dengan Bagaskara selama kurang lebih empat tahun karena ia diterima di perguruan tinggi negeri di luar kota.

Dan halaman terakhir adalah foto terakhir yang kami ambil. Foto yang mengabadikan momen paling membahagiakanku hari itu.

Bagaskara melamarku.

Tampak dengan jelas aku menangis haru ketika Bagaskara memasang cincin di jari manisku. Ia tampak tersenyum bahagia, memelukku dengan erat, seolah-olah jika lengah sedikit saja, aku akan menghilang.

"Gas, aku benci caramu... kenapa kamu harus mengikat aku kalau pada akhirnya kamu pergi..."

Aku sudah terlalu lelah untuk menangisinya. Bahkan ketika aku membuka kotak berisi cincin lamaran kami, aku tidak menangis. Dadaku terlalu sesak, sampai-sampai mulutku terbungkam hanya untuk sekedar melirih.

"Harus bagaimana aku melanjutkan hidup, Gas?"

Aku sudah kehilangan arah. Aku mulai melangkah tanpa tujuan, sampai pada akhirnya aku terluka dan menangis sendirian. Mengais-ngais keberadaannya dan menjerit memanggilnya.

Aku bagaikan langit yang ditinggal pergi mataharinya. Langit yang tak punya fajar. Langit yang tak punya senja. Hidup tanpa warna, hidup tanpa cahaya.

"Aku nggak pernah pergi, Ra. Lihat...aku di sini."

Aku menoleh ke arah suara. Tepat di sebelahku, ia berdiri dengan tegak. Menatapku dengan senyumannya yang akan selalu memancarkan cahaya seindah cahaya pagi.

"Kamu fana Gas...kamu fana..."

"Hidupmu akan terus berjalan Ra, kamu harus terus melangkah sampai waktu yang sudah Tuhan tentukan. Aku akan terus menemani kamu kemanapun kamu pergi, di manapun kamu berada"

Tuhan, aku tahu...aku sangat mengharapkan Bagaskara ada. Ada untuk memelukku, ada untuk menggenggam tanganku, ada untuk menghiburku dengan kata-katanya yang akan selalu meneduhkan, namun bukan begini caranya...

"Aira, teruslah hidup, karena aku akan selalu hidup di dalamnya..."

Arunika | Park Sunghoon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang