tiga: sebotol teh dan dua mangkuk bubur ayam

11 9 0
                                    

"Mau lihat banyak pemandangan indah? Aku rasa nggak perlu keliling dunia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau lihat banyak pemandangan indah? Aku rasa nggak perlu keliling dunia. Cukup menghabiskan hari bersama kamu, aku bisa dapat indahnya dunia; bahkan lebih dari itu."

•••

Tumpukkan file yang baru saja diberikan oleh Atmaja membuatku mengembuskan napas panjang.

Baru semalam aku menyelesaikan projek untuk lusa, dan berharap hari ini aku akan mengerjakan pekerjaan ringan dengan damai di kantor. Namun ternyata Pak Bos sangat senang membuatku menjadi pekerja keras dan berakhir lembur.

Aku melepas kacamata yang bertengger di atas hidungku, lalu memijit pangkal hidung-harap-harap peningku berkurang barang sedikit saja.

Atmaja-rekan kerja sebelah mejaku-menepuk pundakku. "Makan dulu, Ra. Tuh, cowok lo udah nunggu di depan pintu."

Aku menoleh ke arah belakang di mana pintu ruangan ini berada, dan, ya... Bagaskara sudah berdiri di samping pintu. Tengah menatapku sembari tersenyum dan melambaikan tangan.

"Makasih Ja"

Aku bergegas untuk bangkit dari posisiku, mengambil dompet dan ponsel, lalu melangkah menuju ke arahnya.

•••

"Pak, bubur ayamnya dua ya. Yang satu nggak pake kacang, yang satu nggak pake cakwe"

Aku memilih meja, sedangkan Bagaskara memesan makan siang kami kali ini. Setelah itu, ia bergerak menuju lemari pendingin, mengambil sebotol teh yang tampak menggiurkan di tengah cuaca terik siang ini.

"Kamu tumben banget pengen bubur, Gas?"

Ia mendudukkan diri di seberangku, lalu menempelkan botol teh dingin yang ia beli tadi ke pipiku.

"Dingin ih!"

Bagaskara terkekeh, "Kangen. Lama nggak makan di sini sama kamu."

Meskipun kesal dengan Bagaskara yang tiba-tiba menempelkan botol itu ke pipiku, namun dengan penuh perhatian seakan mengerti moodku sedang tidak baik-baik saja, ia membukakan tutup botol teh itu, lalu menyodorkannya padaku.

"Kenapa mukanya suntuk gitu? Lagi banyak kerjaan ya?"

Aku mengangguk, "Iya, pak bos suka banget liat aku lembur di kantor kayaknya."

Ia tersenyum. Meski senyuman itu sangatlah sederhana, entah kenapa...suasana hatiku sedikit membaik karena melihatnya.

"Kamu nggak minum Gas?"

Ia menggeleng, namun sepersekian detik kemudian, botol teh yang sudah kuminum seperempatnya itu berpindah tangan kepadanya, lalu ditenggaknya hingga sisa setengahnya.

"Ih itukan bekas aku Gas, kalau mau aku ambilin lagi-"

"Nggak ah, rasanya nanti beda."

Mendengar jawaban, kedua sudut bibirku sedikit terangkat.

"Apasih!"

Ia tertawa puas setelah aku memukul lengannya. Bukan pukulan serius, tentunya.

Tak lama setelah itu, bubur pesanan kami datang. Bubur tanpa kacang milikku, dan bubur tanpa cakwe miliknya.

"Jangan pake sambel banyak-banyak!"

Aku yang sedang menyendokkan sambal sendok ke-tiga pun tak acuh mendengar peringatannya.

"Ngeyel banget sih, Ra. Nanti mules"

Setelah menyendok lima sendok sambal ditambah sedikit tetesan kecap, aku mengaduk bubur ayam milikku.

"Ini tuh nggak pedes, Gas."

Bibir milik laki-laki di hadapanku mencebik, kesal mendengar jawabanku. "Nggak pedes darimana, aku pake satu sendok aja udah kepedesan."

"Itu mah kamu aja yang lemah"

"Nyenyenye"

Aku terkekeh melihat ekspresi wajahnya yang tampak kesal dengan ucapanku. Setelah itu, ia memakan buburnya tanpa memedulikan aku yang tertawa gemas melihatnya. Tanpa diaduk, tentunya-sebentar, buburnya tidak diaduk?

"Di aduk dulu, Gas. Makan bubur mana enak nggak diaduk"

Bagas menggeleng. "Nggak aesthetic ah. Enakan gini juga"

"Ih coba dulu," aku menyendokkan bubur milikku, lalu menyuapkannya pada Bagas.

"Aku nggak mau bolak-balik kamar mandi karena abis nyoba bubur kamu ya"

Aku tertawa melihat wajah ketakutannya menghindari suapan buburku.

"Nggak selebay itu juga kali Gas, cuma sesendok doang"

"Nggak Ra," Bagaskara meletakkan sendoknya, "aku udah mendedikasikan diriku untuk hidup sebagai tim bubur nggak diaduk."

Aku mencebikkan bibir. "Cih, kalo gitu kenapa kita pacaran?"

"Ya justru karena ada bedanya itu kita pacaran, Ra. Hidup itukan harus kaya sepatu. Nggak mungkin dua-duanya buat kaki kanan kan? Salah satunya pasti buat kaki kiri." jawab Bagas sembari menatapku.

"Wah, romantisnya pacarku"

Bagaskara mengusak pucuk kepalaku, "Gih, buruan makan. Keburu habis jam makan siangnya"

Kami pun menghabiskan bubur ayam yang selalu menjadi langganan kami sejak lama, bahkan sejak kami masih duduk di bangku SMA. Letak kantor dan sekolah kami terpisah tak begitu jauh, hanya dipisahkan oleh persimpangan.

"Nanti cuti akhir tahun mau liburan ke mana, Ra?" tanya Bagaskara yang telah menghabiskan buburnya terlebih dahulu. Bagaskara memang tipe orang yang tidak suka menghabiskan banyak waktunya hanya untuk makan, sangat berbanding terbalik denganku.

"Keliling dunia, Gas."

Bagaskara yang sedang mengelap sudut bibirnya tertawa mendengar jawabanku. "Tiba-tiba banget sih yang"

"Pengen lihat banyak pemandangan indah di banyak negara Gas. Emang kamu nggak mau?"

Bagas membenarkan posisi duduknya, lalu menumpuk tisu yang ia pakai untuk mengelap meja dan sudut bibirnya tadi ke dalam mangkok buburnya.

"Nggak perlu keliling dunia, Ra. Sama kamu sekarang pun aku udah bisa lihat pemandangan indah," manik mata kami bertemu, "sorot matamu, senyuman di bibirmu, semua hal tentang kamu...semua itu lebih indah dari ribuan pemandangan indah yang ada di dunia, Ra."

Arunika | Park Sunghoon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang