dua: langit dan mataharinya

13 9 0
                                    

"Nggak ada hal yang lebih menarik dari sinar mentari selain cahayanya yang hidup di hamparan langit fajar dan senja; layaknya senyum di kedua bilahmu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nggak ada hal yang lebih menarik dari sinar mentari selain cahayanya yang hidup di hamparan langit fajar dan senja; layaknya senyum di kedua bilahmu."

•••

Langit tampak lebih merah. Suara debur ombak memecah hening di antara kami. Kicauan burung yang terbang melintas hendak pulang turut menemani suasana damai sore hari ini.

Kami duduk bersampingan di atas gumuk pasir, menikmati pantai dan ombaknya yang tak jua lelah menggulung dirinya sendiri. Menikmati liburan yang memang kami rencanakan jauh-jauh hari.

Aku menoleh ke arah di mana ia berada. Menatap pahatan wajahnya yang diterpa cahaya senja sore hari.

Tuhan, ia tampak begitu sempurna. Sorot mata yang tegas itu menatap jauh ke arah pantai dengan langit sorenya yang indah. Sorot mata yang akan selalu membuatku tenggelam, layaknya sebuah lautan penuh keindahan.

"Gas," dan pemilik manik mata terindah yang pernah aku temui itu menoleh ke arahku, bertemu dengan manik milikku.

"Hm?"

"Nggak," aku menggeleng kecil, lalu meraih punggung tangan yang ia letakkan bebas di samping tubuhnya, "cuma pengen lihat kamu noleh aja."

Setelah itu, suara kekehan menggetarkan gendang telingaku. Kekehan yang akan selalu menjadi melodi indah dan terekam baik di dalam kepalaku.

"Nggak jelas," ia membalas genggaman tanganku, bahkan kini ia mengisi celah jari-jariku dengan jemari miliknya lebih erat dari yang kulakukan.

"Kamu kenapa nggak pernah bosen ke pantai sih, Ra?" ia berceletuk. "Ini udah ketiga kalinya kita ke pantai bulan ini."

Aku menatapnya yang tengah menatapku penuh tanda tanya.

"Suara deburan ombak, langit sore waktu matahari pulang ke peraduan, aroma pantai. Semua itu candu, Gas."

"Cuma di sini, kita bisa lihat matahari pulang dengan sangat cantik,"

Bagaskara memotong jarak di antara kami. Tangan yang semula bertaut di antara kami itu kini berada di dalam saku jaketnya. Bahunya yang kuat itu kini tepat ada disebelah kepalaku. Entah dengan daya tarik apa, kepalaku kini mendarat dengan sempurna di atas bahunya.

Rasanya akan selalu sama; nyaman, sampai rasanya aku ingin terlelap di sana.

"Tapi habis ini kita pulang ya? Angin di sini kenceng banget, Ra. Nanti kamu sakit. Kamu kan nggak kuat sama udara dingin."

Aku tersenyum, mendongak untuk menatap wajahnya dari bawah. "Iyaaa Bagaskara"

"Kamu mau punya rumah di deket pantai?"

Aku mengangguk. "Iya, biar bisa ke pantai tiap hari."

Ia terkekeh, setelah itu senyum seindah rona jingga di langit senja miliknya terbit di kedua bilahnya.

Entah kenapa, aku tidak pernah bisa untuk melewatkan senyumnya barang sedetikpun. Seperti es, senyumnya lambat laun meleburkan diriku.

Senyum itu seakan-akan menyentuh palung terdalam yang ada di dalam diriku; menyinarinya dengan senyum secerah matahari miliknya.

"Yaudah, besok kita bikin ya"

Wisata masa depan. Percakapan paling menyenangkan yang sering kami lakukan.

"Bagas, aku harap memang kamu ya orangnya..."

"Aku butuh kamu, agar rumah yang aku tinggali nanti seperti langit yang hidup berdampingan bersama matahari."

"Kenapa gitu?"

"Aku ingin rumahku seperti langit sore waktu matahari pulang ke peraduan, seperti langit fajar yang akan selalu terasa hangat untuk memulai hari. Nggak ada hal yang lebih menarik dari langit dan sinar mentarinya, selain cahayanya yang menjadi penghidupan untuk langit tempat ia bersinar. Matahari itu ada di kedua bilahmu saat kamu tersenyum, Gas."

Arunika | Park Sunghoon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang