Bulan Desember.
Entah bagaimana aku melanjutkannya sisa hidupku setelah Bagaskara pergi, namun aku tidak pernah tahu kalau waktu berjalan begitu cepat. Penghujung tahun telah datang.
Harusnya, tepat di bulan ini, aku mengenakan gaun putih di atas altar. Melempar senyum paling bahagia. Melangkah bersama teman hidup yang sangat aku cintai.
Harusnya, tepat bulan ini, aku dan Bagaskara bisa tinggal bersama di bawah atap yang sama. Ketika bangun tidur, wajahnya lah yang ada di hadapanku. Ialah yang menemaniku di meja makan. Ialah yang menemaniku menghabiskan waktu di ruang tamu untuk menonton televisi hingga tak terasa, senja telah datang.
Namun nyatanya, kini aku sendirian. Merintih dan meringkuk seperti tubuh tanpa jiwa yang telah kehilangan arah melangkah. Menangis tiap menit dan terisak tanpa henti.
Harusnya, hari ini aku merayakan ulang tahun Bagaskara. Meniup kue bersamanya, kemudian melayangkan doa dan harapan terbaik kepada Tuhan. Menikmati waktu seharian hanya untuk memeluknya dan memandangi wajahnya di atas tempat tidur. Terbebas dari segala beban pekerjaan yang telah menghantui kami setiap hari.
Ingin rasanya aku berlari mengejarnya. Mengikuti langkahnya yang semakin hari semakin jauh, dan lama-lama memudar. Aku tidak ingin hidup di sini tanpanya. Bagiku, 'Bumi' ku sudah tak berotasi pada porosnya lagi. 'Bumi' ku sudah tak lagi sama.
Aku hanya terus memandangi langit, berharap ia muncul dan berkata padaku bahwa selama ini ia hanya berkelana sebentar untuk mencarikanku sebuah hadiah. Namun yang kudapati hanya matahari terbit di timur dan tenggelam di barat. Tanpa Bagaskara. Tanpa laki-laki dengan senyum yang tak akan pernah gagal mencairkan beku yang ada di dalam hati.
Orang-orang bilang, aku harus mengikhlaskan kepergiannya. Ia akan ditempatkan di tempat Tuhan yang paling baik.
Kalau begitu, kenapa Tuhan tak mengajakku sekalian? Kenapa harus membiarkan aku sendirian tanpa Bagaskara di sini?
Kurasa, lebih sakit hidup tanpa jiwa dan arah seperti ini. Namun kenapa Tuhan menyelamatkanku tanpa Bagaskara di sisiku?
Aku benci ketika harus membuka mata setelah ia pergi. Aku tak dapat menemukannya di manapun aku meraung dan menjerit sembari memanggil namanya. Aku tak dapat lagi memeluknya, tak dapat lagi mendengar suara dan kata-katanya yang selalu mendamaikanku.
Tuhan, kembalikankan lah matahariku, agar langitku kembali memiliki jiwa. Agar langitku kembali memiliki warna. Langitku telah hidup sebagai abu-abu paling menyedihkan setelah kau ambil matahariku. Langitku tak lagi menerbitkan cahaya ufuk yang indah, langitku tak lagi memancarkan cahaya terbenam yang menentramkan.
Kembalikanlah Bagaskara meskipun hanya sebentar Tuhan...agar setidaknya aku dapat memeluknya untuk terakhir kali, dan mendengar kata pamit dari bibirnya.
Agar aku tak lagi mengais keberadaannya tanpa arah dan tujuan seperti ini...
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika | Park Sunghoon ✓
FanfictionDi mana kah kau sekarang? Aku telah melangkah begitu jauh untuk mencarimu. Dari tempat awal kita memulai hingga akhirnya kau hilang pun telah kusambangi. Tak tampak lagi senyum secerah mataharimu. Tak ada lagi kata-kata sehangat pelukan di musim hu...