akhir

24 2 0
                                    

Embusan angin melintas di gendang telinga. Angin pagi yang cukup dingin membuat beberapa bulu yang tumbuh di permukaan kulitku berdiri. Langit belum sepenuhnya bersinar. Sisa-sisa langit subuh masih membekas di beberapa titik.

Di bawah pohon dengan bunganya yang berwarna kemerahan dan mulai bermekaran itu, aku terduduk. Termenung sembari menatap sebuah objek yang persis ada di depan mataku.

Entah keberanian dari mana, pada akhirnya aku yang telah hilang harapan ini melangkah ke tempat ini. Bukan untuk mencari petunjuk atau secercah cahaya untukku kembali melangkah dan mencarinya. Hanya saja, hatiku yang selama ini menjadi abu semenjak ditinggal pergi olehnya, kini seolah membisikkan padaku untuk bangkit dan hidup.

Mau bagaimanapun, aku tetaplah manusia, katanya. Meskipun setengah jiwaku telah pergi bersamanya, aku masih memiliki tanggung jawab pada setengah jiwaku yang lain. Aku harus tetap memberikannya penghidupan.

Selama ini, aku hanya berusaha menutup mata. Menepis kenyataan jikalau Bagaskara yang selama ini selalu menjadi salah satu nyawa dalam hidupku telah pergi.

Aku tahu, sangat tahu, kalau Bagaskara telah pergi berkelana dan tidak akan pernah pulang. Ia bukan lagi matahari yang akan selalu muncul ketika pagi menyapa, dan bukan lagi matahari yang akan selalu menutup hari dengan sinar kemerahan di barat sana.

Bagaskara telah menjelma menjadi matahari yang selalu ada untuk Bumi, meskipun jarak terbentang jauh di antara mereka.

Bagaskara tidak akan mengingatkanku untuk tidak telat sarapan lagi. Bagaskara tidak akan lagi mengajakku membeli wedang ronde di angkringan kalau hujan mengguyur. Bagaskara tidak akan menjemput dan mengantarku pulang kerja, lalu mencium pucuk kepalaku dan berucap ‘semangat sayangnya aku’ lagi.

Bagaskara mungkin telah hilang wujudnya, namun ia akan selalu ada di manapun aku berada. Karena cinta dan kasihnya selalu hidup di lubuk hati yang telah kupersiapkan khusus untuknya.

“Bagas, kamu tahu...sekarang aku udah nggak benci lagi kalau Pak Bos suka ngasih kerjaan yang banyaknya diluar nalar dan bikin aku lembur di kantor. Justru, hal itu sekarang yang aku butuhin, Gas. Biar aku nggak terus-terusan tenggelam dalam kesedihan, nungguin kamu yang nggak akan pernah pulang...”

Aku mengusap sebuah batu nisan bertuliskan namanya. Saat menyentuhnya, pandanganku mengabur. Dadaku sesak. Rasa nyeri menggerayangi lubuk dadaku.

“Gas, aku masih terus berandai...kalau kamu nggak pergi, bukannya sekarang kita bakal banyak berkelana berdua? Mengunjungi tempat yang udah jadi to do list yang bakal kita datengin setelah kita menikah, Gas...”

“tapi kenapa kamu pergi sendirian sekarang? Tanpa aku...

Beruntungnya, pemakaman bukanlah tempat umum yang ramai dikunjungi orang. Karena jika iya begitu, aku akan tampak sangat menyedihkan sekarang. Terisak sembari merintih, seperti anak kecil yang merengek meminta mainan.

“Aira, aku minta maaf karena aku nggak bisa menepati janjiku. Aku pergi sebelum Tuhan mengizinkan kita melayangkan ikatan pernikahan ke langit. Tapi aku akan selalu menyayangimu, Ra...setidaknya hanya itu janji yang bisa aku tepati.”

Tangisku semakin keras. Dadaku seperti dihimpit benda dengan tekanan yang sangat besar. Sesak sekali. Rasa-rasanya, aku akan hancur saat itu juga, terlebih setelah mendengar suara Bagaskara. Suara fana yang akan selalu datang ketika aku menangisinya.

“Izinkan aku pulang ya, Ra? Aku akan selalu menunggu kamu di tempat yang jauh lebih indah dari semua tempat yang sudah kita rencanakan untuk kita kunjungi,”

Aku menoleh, lalu kudapati Bagaskara yang tampak begitu bersinar berdiri di sebelahku sembari tersenyum. Ia merentangkan tangannya, dan seperti orang bodoh, aku berdiri, mendekat pada sosoknya dan memeluknya.

“Hiduplah dengan baik, Aira.”

Matahari telah menggeser langit-langit sisa subuh sehingga kini langit telah bersinar. Bagaskara mulai melangkah menjauh, tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Menatapku dengan sorot matanya yang akan selalu membuatku jatuh dalam dirinya.

Bagaskara seutuhnya pudar seiring meningginya matahari. Senyumnya yang akan selalu menjadi penghangat hari-hariku itu telah pergi seutuhnya bersama pemiliknya. Sorot matanya yang indah tidak akan pernah lagi kulihat.

Lututku melemas, hingga akhirnya menubruk tanah pemakaman. Aku menunduk, menangis tanpa henti. Menangis dengan raungan paling menyayat hati.

Selamat berkelana, Bagaskara. Aku tidak akan menahanmu lagi, mencarimu seperti orang gila tanpa arah, dan meraung menjeritkan namamu. Aku telah melepasmu agar kau dapat terbang lebih tinggi.

Aku mencintaimu, Bagaskara.

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Meski wujudmu tak lagi berpijak di atas tanah Bumi, namun senyum sehangat matahari pagi milikmu, obsidian legam yang mampu menenggelamkan, serta tutur katamu yang mampu meredam kegelisahan itu akan selalu terkenang dengan baik, Gas. Jangan pernah lupakan aku yang pernah menjadi bagian dari perjalananmu, menjadi rekan kelanamu selama hidup. Aku akan selalu menunggumu, sampai akhirnya kendaraan yang akan kutumpangi untuk berkelana denganmu datang menjemputku. Bagai matahari yang akan selalu hadir di langit timur, hangat yang pernah kau lukisan dalam lembar kenangan akan selalu menjadi penghidupan bagi sisa jiwaku, pun juga damainya senja penutup hari.”

Arunika | Park Sunghoon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang