Chapter 8

21.6K 523 1
                                    

Written by: __Akasa

President Suite
Alsen's room 18.18 WIB.

Alsen, iris mata mewah emerald nya menatap haus pada tubuh gadis yang hampir naked seluruhnya. Tersisa kain tipis segitiga dan tank top yang terjatuh ke perutnya. Warna hitam, begitulah Livia menghiasi tubuhnya dengan kesan mandiri, dan seksi di saat yang bersamaan.

Buah leher Alsen, jakun itu naik turun, menelan kasar salivanya sendiri. Mata Livia sayu, diartikan sebagai kondisi yang on high oleh Alsen. Kecamuk pikirannya semakin menjadi setelah suara lembut Livia berbisik di telinganya.

"Setelah ini, semua terserah padamu, Alsen." Nada yang begitu menggairahkan, seakan ditarik paksa pada fatamorgana yang menjanjikan pelepasan lebih dalam.

Rengkuhan tangan Alsen semakin kuat menahan tangan Livia ke atas. Bibirnya mendarat sempurna di keningnya. Saat lidahnya mencapai leher putih Livia, ia menghentikannya seketika. Naif memang, begitulah yang akan ditujukan pada Alsen. Tapi,-

"Tidak Livi, ini bukan lagi ranah ku. Terlalu jauh jika harus mengambilnya darimu malam ini juga." Spontan Alsen berhenti. Ianya duduk di ranjang samping, menunduk, mengusap kasar kepalanya.

"Alsen, kau tidak tertarik denganku?"

Terdengar murahan bukan? Tapi bukan itu intinya. Livia telah memberikannya, kepercayaan sepenuhnya pada Alsen. Tentang kesan murah atau mahal, hei, siapa yang pantas menilai orang lain(?)

Keperawanan kewanitaan dapat diartikan sebagai harga termahal yang tidak dapat dinominalkan. Hanya saja, Alsen tidak bisa menerimanya begitu saja. Ia harus memberikan sesuatu sebagai imbal dari keperawanan Livi. Aktualisasi nyata untuk terus membersamainya. bukan sekadar bualan kosong semata.

Alsen paham, sebagai lelaki ia tidak bisa begitu saja memberikan janji manis sebagai tumbal untuk keperawanan Livia. Walau kejantanannya memaksanya untuk segera menembus selaput kenikmatan itu.

"Kamu masih marah? Karena ada yang bertindak nekat padaku? Sengaja menyenggol payudaraku?" Livia memastikannya, ia tidak mau tenggelam dalam interpretasi pribadi yang menjerumuskannya pada keretakan hubungan.

Eksegesis pribadi hanya akan memperparah keadaan. Lebih dari itu, kekuatan pikiran akan memberikan getar pada semesta untuk mengabulkannya.

Walau berjalan satu hari, namun ini sudah mencapai titik di mana antara Alsen dan Livia ada sebuah rasa yang tidak dapat dijelaskan.

Dalih sederhana untuk keinginan yang sama, keinginan untuk berbagi. Bagi sebagian orang, seks hanyalah manifestasi nafsu yang dibebaskan. Dan sarana duniawi yang mengeksplorasi bebas tubuh seseorang. Tapi tidak,-

"Livi, seks itu lebih kepada bahasa intimasi antar dua orang, keduanya akan saling tarik menarik, berbagi rasa. Kamu akan merasakan apa yang kurasakan, begitupun aku." Alsen menjelaskannya. Badannya memunggungi Livia.

Perlu waktu untuk Livi dapat mencerna, tangannya membenarkan posisi tank topnya yang melorot. Mengulas senyum terbaiknya.

"Iya, esensi dari seks itu sendiri adalah penerimaan masing-masing individu, kan?" Livia memeluknya, memeluk tubuh Alsen yang membelakanginya.

Begitu dekat sampai payudara Livi yang masih basah menempel ke punggung Alsen. Kekenyalan itu membuat Alsen sedikit terhenyak, menyelaraskan debar jantungnya.

"Livi, ini bukan dunia ku." Alsen mengucapkan kalimat yang susah dipahami. Kalimat yang bagi Livia mengandung arti tersendiri.

"Iya, dunia kenakalanku memang bukan bagianmu? Begitu, kan?" Livi salah tangkap akan maksud Alsen. Astaga, gadis itu rupanya masih terpaku pada apa yang menjadi Alsen berani meminta payudaranya.

𝑷𝒐𝒔𝒔𝒆𝒔𝒔𝒊𝒗𝒆 𝑳𝒂𝒘𝒚𝒆𝒓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang