DI hari yang sudah berbeda dan rasa yang masih sama. Kini aku hanyalah manusia tanpa kata, tanpa suara, tanpa kaki, tanpa tangan, bahkan tanpa raga. Semua-mua yang ku miliki seperti tak kasat mata. Hadirku hanya untuk bahan cacian dan makian. Di sanalah mereka berada, tentunya masih di tempat yang sama. Di ruangan berwarna hijau dengan banyak bingkai yang digantung di muka dinding.
Masih dengan tatapan yang tajam dan dingin. Juga iris mata yang penuh kebencian. Ada yang semakin hari semakin membenci berkat ucapan seseorang. Ada yang hanya sekadar nimbrung—kalau kata sebagian orang Jawa Tengah 'melu payu'—supaya tak jadi kaum minoritas seperti kami-kami ini yang dibuang hanya sebab perbedaan isi kepala.
Hari itu merupakan hari di mana persiapan terlaksananya Ujian Sekolah. Jadwal hari ini merupakan sesi pemotretan untuk pembuatan ijazah untuk syarat kelulusan sekiranya sekitar 300 siswa. Dengan hati yang sungguh tak terkira rasa sakitnya hingga penyangkalan bahwa "aku tidak terluka" bermunculan di hati bagian kanan dan kiri. Berusaha tegak dan menunjukkan bahwa aku sedang tak apa di hadapan mereka para biadab.
Berangkat dengan tergesa sebab pertaruhan menempati kursi kosong akan segera tiba. Dalam perjalanan, masih tersenyum dan gembira sebab keluarga selalu mengasihiku. Juga lagu-lagu Nadin Amizah yang menemani dikala gelap.
Memasuki ruangan pojok sekolah itu dengan langkah yang tertahan. Terasa berat, seperti ada sesuatu yang memegang erat langkahku. Juga seakan tembok besar menyekat di gerbang depan sekolah. Namun tak apa, kurang dari 2 bulan juga akan lulus dan lolos dari tempat biadab itu.
Tentu masih dengan suasanya yang sama, kursi sebelah kiriku masih kosong melompong. Aku seperti orang hina, tak ada yang mengendus. Apalagi mendekat. Hanya keempat orang kemarin yang masih menjunjungku. Juga masih ku letakkan kepala di atas meja, yang mungkin membuat terkesan aku lebih buruk dari yang sebenarnya.
Bel berbunyi tanda seluruh siswa harus memasuki ruangannya masing-masing. 29 ruang terasa seperti ruang yang selayaknya ruang. Namun ruanganku terasa seperti neraka, hanya satu-satunya diantara 30 ruangan. Entah hawa panas dari neraka tingkat yang mana yang terbang hingga ke sini. Semua seakan mereka-mereka tak tahu adab memanusiakan manusia. Juga adab mematuhi orang yang lebih tua. Seakan norma-norma dunia diberantas hebat oleh mereka sang perusak.
Pembelajaran berjalan dengan lamban dan menyesakkan. Guru Bahasa Indonesia yang kunanti-nanti pembahasan mengenai sastra Indonesia tak kunjung terwujud. Pantas saja, kini aku masih menduduki Sekolah Menengah Pertama yang belum mengenal jauh mengenai sastra Indonesia dan lika-likunya. Namun pembahasan mengenai konjungsi, majas, dan gaya bahasa cukup membuatku beralasan bahwa pembelajaran bahasa ialah hal yang menyenangkan.
Tak lama setelah pembahasan soal dan ceritanya sebagai persiapan Ujian Sekolah, bel berbunyi dengan nyaring seperti biasanya. Sampai jangkauan 20 meter pun terdengar. Karena hari ini merupakan hari Jumat yang penuh berkah, bel hari spesial ini hadir untuk menunjukkan istirahat pertama dan terakhir tiba. Selanjutnya akan dilanjutkan pembelajaran sepenuhnya.
Hari itu hari yang cukup pendek, namun terasa sangat panjang bagiku. Menunggu sesi pemotretan yang lamanya tak terduga, sebab dilakukan satu persatu siswa dengan kamera yang hanya satu. Sehingga keputusan dari guru ialah pulang terlebih dahulu lalu berangkat lagi sekitar pukul 2 siang untuk menunggu giliran kelas kami. Melelahkan dan malah merepotkan bapak, harus bolak-balik dua kali ke sekolah. Namun aku bersyukur sebab tak bertemu dengan mereka, walau hanya untuk beberapa jam.
TIGA jam telah berlalu, saatnya untuk kembali bertemu mereka yang sungguh meremehkan manusia-manusia kecil seperti kami. Yang hanya punya mimpi yang besar dan berharap impinya akan datang di suatu waktu. Ku kenakan seragam putih biruku kembali yang mulai lusuh sebab sebelumnya tak digantung dengan rapi. Tak lupa dasi bergaris tiga yang menandakan sebentar lagi aku akan lulus. Juga sepatu warrior yang sudah banyak tercoret cat akrilik karena tak sabar ingin melepas belenggu selama tiga tahun terakhir ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Termendung
Short StoryDi bawah lapisan hangat seragam putih biru kusut, Senja Gitarja, sang pahlawan bagi dirinya sendiri kini hadir di dalam gelap dinaungi serigala bertubuh tinggi besar, berseibo hitam berlapis topeng. Benar, serigala-serigala itu bagai manusia yang...