Sepulang Sekolah, 9 Maret 2023

6 3 0
                                    

DI hari yang penuh warna gelap dan awan bersimpuh teduh di bawah langit yang marah, petir bersahutan begitu keras kesana-kesini. Bagai api yang menyambar pada seuntai tali yang dilapisi alkohol, dalam waktu sekejap akan habis dilahap bara api. Memadamkan ketenangan, digantikan dengan usik, riuh, kacau, berantakan dan garang. Sembab dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Siang hari ini sangat terik di bagian barat bumi dan mendung gelap di bagian timur bumi. Bapak dengan lelah menjemputku pulang, semangatnya bergemuruh dari ujung rambut hingga jari-jari kaki.

Senja, namaku. Yang biasanya meneduhkan manusia-manusia yang ingin mencurahkan kerut hatinya, kini hanya bisa terdiam dan tak bicara sepatah kata apapun. Tanpa kata dan keras seperti patung. Senja kali ini senja yang sangat amat mendung dan abu-abu. Hanya bisa menahan tangis yang membeku keras sejak para bedebah muncul satu-persatu.

Berjalan menuju gerbang pulang SMP dengan mata yang hanya tertuju pada paving keras dan berdebu. Kelopak mata tanpa berkedip dan sayu. Kantong mata mulai membengkak dan merah. Seluruh dendam menggumpal di hati, seluruh riuh gemuruh sakit tercantum lekat di kepala.

"Kau tak pantas untuk bahagia, Senja", kata seuntai darahku yang mengalir dari jantung menuju paru-paru.

Melewati sawah bersenandung kecil dengan darah yang mulai membenci mereka-mereka, mengalir dari kepala yang bengkak-bengkak hingga ujung kaki yang patah. Bapak berusaha mencari topik apa yang baik untuk hari ini, aku menjawab seadanya.

"Tadi sarapan dengan apa, Senja?", tanyanya sambil memegang gas tangan vespa butut milik bapak. Mengingat tadi pagi bapak sudah pergi jauh menyusuri pusat kota Solo―maka dari itu tak sempat sarapan bersama-sama―dan jalan rumitnya. Sudah sangat hafal dan tentu saja di luar kepala. Dibandingkan aku yang gemar sekali lupa jalanan kota Solo yang sungguh rumit diterima oleh kepala yang tak gemar menghafal.

"Ikan keranjang dan sayur asam buatan nenek", jawabku singkat dengan suara yang sedikit meninggi sebab tak ingin terdengar parau.

"Wah.. Enak?", Seperti biasanya, bapak selalu memastikan pernyataan yang diberikan setiap orang. Terkadang menjengkelkan, terkadang juga dapat dijadikan bahan baku mencairkan suasana.

"Tentu saja enak, siapa dulu yang buat", sanjunganku terhadap masakan nenek yang sangat sedikit sekali persentasenya jika berbicara mengenai makanan tidak enak.

Menit yang dapat dihitung dengan jari pun berlalu, semilir angin membasuh wajahku dengan setetes air mata yang mengalir dari kantungnya hingga dagu yang tak punya tempat berteduh. Tanpa seizinku, jatuh begitu saja.

Melewati jalanan kecil yang rumit bagi orang asing hingga sampai ke rumahku yang teduh. Sempit namun selalu jadi tempat ternyaman untuk berebah ria di pulau kapuk.

Melepas sepatu yang bersemir cat akrilik dengan kreasinya yang sungguh nakal di mata guru, hingga melepas aksesori pelengkap syarat masuk gerbang sekolah. Masih dengan tatapan yang kosong dan mata yang sayu, ku susuri meja makan dan anak tangga buas. Tanpa omong kosong yang meledak-ledak, ku jatuhkan tubuhku ke pulau kapuk yang hangat juga dilapisi panas matahari yang menembus dinding tipis rumah.

Sebuah lagu ku putar lewat gawai lawas milikku. "menangis di jalan pulang", buah karya Nadin Amizah. Syair yang teramat cantik dan tentu saja disajikan dalam nadanya yang syahdu. Pendahuluan lagu yang disuguhkan dengan sedemikian rupa yang entah bagaimana pembuatannya, menjadikan lagu favoritku bertahun-tahun ini terasa sangat sedih dan seakan penyairnya mengajakkku berdendang ria merayakan kesedihan. Walau kisah syairnya tak sama dengan bermacam-macam yang telah ku alami, namun inti dari segala kesedihan ialah lagu ini. Sebuah tempat yang ngawe-awe melambaikan tangan untuk pulang.

Dalam jangkauan nol sampai 42 detik pertama, bongkahan air yang mengeras sejak tadi, tiba-tiba terurai begitu tanpa perintahku. Enam menit berlalu masih dengan tangisnya. Setiap kali terdengar intro lagu Nadin lainnya, dalam hati langsung menggebyar "Sudah, kali ini menangis di jalan pulang dulu".

Senja TermendungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang