HARI demi hari bagai menginjak kerikil dan bebatuan besar dibalur api panas yang melelehkan kulit kaki. Kamis, 9 Maret 2023, mungkin hari ini tujuan akhirnya, membakar seluruh tubuhku. Melewati jalanan penuh asap dan kabut, pengelihatanku kabur untuk menampilkan apa yang ada di depan sana. Yang tergambar hanya tempat berasap hitam dan gelap.
Tengah siang yang menyengat, awan-awan kemepul tepat di atas rambut hitamku. Langit masih dengan warna biasanya, biru muda bercampur biru tua. Siang bolong begini, biasanya kantuk, malas dan rasa ingin cepat pulang dari sekolah selalu jadi topik utama bocah SMP di sekitarku. Kelopak mata yang sudah mulai terpejam, kepala mulai sakit dan ngilu akibat begadang bercampur menjadi satu.
Bermula dari pertanyaan singkat kepada 4 orang temanku yang tanpa pamrih mengulurkan tangannya untuk tanganku yang lemah dan tak berdaya menuju tempat yang lebih baik. Yang sudah kotor berlumpur, juga menghitam sebab masuk jurang lingkaran setan itu berada. Kini sedikit memalukan di hadapan mereka. Sebab dahulu kami terlihat sangat asing. Kini malah mau membantu dengan senang hati. Aku bagai manusia yang masih terbasuh banyak dosa-dosa, dihadapan mereka yang hampir suci. Jijik dan memalukan. Tak tahu malu dan kasar.
Berkumpulnya kami ialah untuk menyamakan rasa senasib sepenanggungan di ruangan gelap itu. Kemudian ternyata ada kotak hitam yang isinya berbagai omongan kotor para bedebah itu.
"Aku banyak mendengar perkataan busuk mereka. Di sini, di tempat sekarang aku duduk. Di pagi-pagi yang masih suci tanpa uap awan menginjak langit, perkataan itu sudah menjadi sarapanku berhari-hari. Sampai jam masuk kita tiba, jam 7", ujarnya dengan raut muka penuh misteri dan sedikit jengkel.
"Apa? Siapa? Apa saja yang dibicarakan? Siapa saja?" kata tanya itu ku lontarkan begitu saja tanpa berat dengan keingintahuanku yang begitu besar, berujung mati di tengah hutan.
"Senja, kau paling banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Mereka merangkum kesalahanmu dari A sampai Z. Sejak gairahmu yang menggebu-gebu di bulan Desember lalu, hingga pertandingan kekalahan kemarin. Bisa dibilang, mereka banyak menyalahkanmu", jawabnya dengan tidak menampilkan perkataan yang lebih detail lainnya. Mungkin untuk menjaga hati yang sangat sensitif bila terkena sedikit goresan. Hingga membuatku sedikit ternganga dan marah. Amarah menjemput emosi yang terkubur di saraf pusat otakku.
"Apa? Siapa? Apa saja yang dibicarakan? Siapa saja yang membicarakan? Siapa saja yang dibicarakan? Perkumpulan yang mana?" Lagi-lagi tanpa jarak ku bertanya. la menggeleng tak memberi tahu nama-namanya.
"Si Pimpinan? Atau penurut yang mana?", aku bertanya dengan penuh kemarahan yang tertunda, dicampur air mata yang masih mampu tertampung di kelopaknya.
la masih tak menyebut satu pun nama dari bibirnya. Tak panjang lebar, hanya sedikit yang ia bicarakan. Tak mau memperburuk keadaan dengan menyatakan sepenuhnya lebih lebar. Gelengan kepala juga berkali-kali berperan dalam kemunduran hatiku untuk menulusuri lebih lanjut. Akan lebih baik jika aku tak mendengar lebih banyak ucapan omong kosong dari mereka.
Akan tetapi dengan sifatku yang lebih banyak ingin tahunya daripada memikirkan kedepannya, kata "Siapa?" dan "Apa?" lebih banyak digunakan. Berujung dengan terdengarnya penjelasan dari salah satu dari mereka berempat.
Air mata yang telah diemban lamanya, akhirnya memancur satu persatu. Tundukan kepala ku lakukan kembali. Sampai satu pelajaran penuh―setara dengan waktu sekiranya 40 menit―habis hanya untuk menunduk.
"Mau membalas pakai apa?",
"Mau menunjukkan lewat jalur yang mana?",
"Mau menghancurkan mereka dengan cara apa?",
Kalimat-kalimat kebencian mulai tertanam di kepala dan hati menandakan peranmu sudah tak ada apa-apanya di hidupku. Kebaikanmu sudah terkubur jauh di dalam inti bumi. Di lapisan paling dalam bumi. Yang ku lihat lewat retina mataku saat ini ialah mukamu yang jelek nan hitam kusam, kotor layaknya rumah kosong tak berpenghuni, bau bagai kambing yang sudah tak dimandikan 3 tahun lamanya.
Pertanyaan-pertanyaan itu telah menemukan jawabannya sendiri.
"Sukses",
"Menulis, melukis",
"Diam"
Pertanyaan yang selalu ku lontarkan dalam tundukkanku pasti sepaket dengan jawabannya. Entah ambisi atau amarah. Tak bisa dibedakan.
Tidur adalah alasan yang tepat saat itu, pasalnya mungkin mereka menontonku sebagai manusia paling lemah, bila mendengar perkataan yang menurut mereka ringan adalah hal biasa.
40 menit ku habiskan untuk menangis, entah sebab apa yang membuatku terlihat lemah di depan banyak orang. Terlalu menunjukkan bahwa aku bisa menangis. Biasanya hanya di rumah, itu pun jarang orang mengetahui.
Kertas yang berada di bawah dekapan tanganku pun ikut membasah sebab turunan air mata yang mengalir dari kelopak, langsung menetes di atas kertas. Metode menenangkan dengan menepuk bahu diupayakan oleh teman yang benar-benar teman, salah satu dari 4 orang temanku yang pantas dipanggil teman. Namun itu hanya sekadar ritual menenangkan orang lain, yang sangat lumrah dilakukan, tak tenang sepenuhnya tenang.
"Senja, sudah.. dahulu aku pun pernah seperti kau sekarang, bahkan lebih menyakitkan", ucapnya sambil meyakinkan.
Di dalam dekapanku yang gelap nan hitam itu, suatu ketika ada secercah cahaya memberi bantuan untuk kebangkitan. Namun ada juga yang membisik di telinga sebelah kiri yang memicu semua amarah. Rasa ingin memaki-maki, menojok bak petinju kelas tinggi, hingga menyeret mereka-mereka ke lubang buaya akan menjadi nyata. Bayangan di kepalaku hanya tergambar bahwa memukul mereka merupakan hal yang mudah dilakukan, maka akan kulakukan sekarang. Namun dunia punya norma yang tak bisa semena-mena ku terobos begitu saja.
Rasa-rasanya itu emosi sesaat saja, namun berkepanjangan. Terkadang mereda, terkadang memuncak. Seperti anak kecil menuju remaja, labilnya tak karuan. Juga merusak hari yang sudah dibangun kokoh di pagi hari. Kini hancur bagai arsitek tak berpengalaman yang merancang bangunan. Sama sepertiku, bisa hancur hanya dengan sekadar kata dari bedebah yang tak cukup umur. Bodohnya, malah ditelan dengan lahap olehku. Yang seharusnya tersingkir ke ujung lapisan langit, malah ikut serta memelukku dengan hangat yang perlahan memanas.
"Bagaimana cara menghapusnya?"
"Bagaimana supaya tampang mataku tak tampak memerah?"
Pertanyaan itu mengelilingi kepalaku.
Ketika di hadapan musuh, terlihat lemah adalah hal yang paling menjijikkan. Bagai anjing yang manut terus-menerus oleh tuannya di rumah.
Mata yang tentu saja sembab dan hidung yang terdengar seperti orang flu menjadikan sangat merepotkan.
Kini yang tersisa ialah pandanganku di ruangan gelap ini bagai penjara. Tak ada secercah cahaya harapan apapun di sini. Hanya ruang hampa, gelap, kosong. Mata yang dahulunya sangat hangat dengan kelopak mata yang setengah terpejam dan melengkung senyum, kini dingin dan kosong. Bila berpapasan, pandangan ke arah depan ialah opsi paling baik untuk menghindari sulut kebencian.
"Aku tak kenal" ialah kalimat paling baik di hati saat bertemu manusia-manusia yang satu spesies dengan mereka para penghianat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Termendung
Short StoryDi bawah lapisan hangat seragam putih biru kusut, Senja Gitarja, sang pahlawan bagi dirinya sendiri kini hadir di dalam gelap dinaungi serigala bertubuh tinggi besar, berseibo hitam berlapis topeng. Benar, serigala-serigala itu bagai manusia yang...