27 Ramadhan

6 3 0
                                    

SORE hari yang begitu terik dan panas. Cuaca di bulan April tahun ini panas sekali, entah sebab pemanasan global atau seorang yang membakar sampah sembarang di lapangan sebelah. Nenek sedang meracik bumbu sayur asem, sedangkan ibu memotong-motong terong, kacang panjang, jagung, dan labu siam sebagai ampasnya. Aroma sayur asem mulai terhembus jelas menuju kamar tidurku. Yang berantakan dan berserakan. Kanvas di atas meja, cat akrilik di mana-mana, juga cat minyak yang sudah lama tak terpakai, serta bulu kuas yang sudah banyak rontok dan kering. Dahaga juga lelah dijadikan satu serta kantuk menyerang begitu saja.

Sambil menunggu azan Maghrib, ku lakukan hal yang serta merta diperuntukkan untuk menunjukkan bukti syukur. 30 menit sebelum azan ialah waktu paling tepatnya. Tenggorokan yang kering juga bacaan huruf Arab sudah mulai tergesa-gesa sebab targetku hari ini ialah membaca 1 juz penuh atau lebih. Mukena yang masih membasuh tubuhku juga tasbih berisi 33 manik-manik ku kenakan sebagai sarana bertampil bersih di depan Tuhan. Bukan untuk berlagak suci, namun sudah seharusnya demikian.

Bacaan huruf nun dengan harakat kasrah yang berada di kalimat terakhir merupakan huruf terakhir yang ku baca setelah akhirnya disusul dengan terdengarnya azan Maghrib yang berkumandang di seluruh penjuru kota Surakarta. Sebab dahaga yang begitu menusuk di tenggorokan, terdengarnya azan Maghrib menjadikanku bersemangat paling kencang untuk meminum teh hangat buatan bapak di lantai bawah. Ditunggu oleh ibu, bapak, juga nenek yang sudah bersinggah duduk di hadapan meja makan dengan pernak-pernik makanan buka puasa. Ada sayur asem yang hangat, ikan keranjang yang disuir untuk memudahkan menyantap, tempe mendoan yang baru saja mentas dari kolam minyak panas, juga es kopyor dengan sirup merah dan daging kelapa di dalamnya. Semua menunya―yang dibuat nenek dan ibu dengan peluh keringat bau masam―menggiurkanku untuk segera berbuka.

Pertama ku ambil nasi dari magic com lalu disiram dengan kuah panas sayur asem sekaligus ampasnya yang sedikit banyak. Ikan keranjang suir diletakkan di piring kecil lalu tak lupa mengambil es kopyor sampai gelas penuh serta tempe mendoan yang sesuka hati ingin ambil berapa. Lengkap sudah menu berbuka.

DI tengah-tengah memuaskan nafsu berbuka, ku bertanya kepada ibu yang tengah memuluk nasi terakhirnya.

"Bu, aku sudah mau lulus, tak lama lagi. Bahagia tidak?", ucapku sambil merapikan nasi yang dibalur ikan keranjang.

"Kalau Senja bahagia, ibu juga bahagia" ucapnya sambil melihat kedua bola mataku untuk meyakinkan.

Senja TermendungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang