"Ayo Senja makan dulu, ada uritan", aku yang sama sekali tak suka uritan itu semakin malas untuk menginjak beberapa anak tangga.
Masih terlalu asik pada perjuangan Biru Laut dan organisasi aktivisnya yang satu persatu hilang ditangkap aparat beserta intelnya. Aku yang mempunyai rasa ingin tahu yang cukup besar akhirnya beranjak dari tempat tidur. Mencicip sejumput serpihan uritan dan kawan-kawannya, memuluk nasi yang ibu santap, akhirnya tertarik juga untuk makan malam. Diambilnya piring kecil, mengambil satu setengah entong nasi supaya tak terlalu banyak porsi makan malamnya. Nasi panas dan sudah mulai mengering dipadukan remukan ungkepan ayam kesukaanku yang asin memanjakan lidah untuk sementara.
Nenek datang mengunjungi ruang makan kami menyantap. Ibu menjelaskan pada nenek—darah tempat ibu berasal—tentang putu-nya ini yang sedang malang ditiup badai. Aku sambil me-muluk nasi demi nasi yang ludes dengan waktu singkat. Selesai menjelaskan lalu nenek berkata,
"Wis rapopo nduk, tak usah didengarkan kata teman-temanmu, yang penting kamu ujian, lalu dapat nilai bagus", kata nenek meyakinkan.
Sebenarnya tak mudah tidak mendengarkan kata mereka sebab seperempat dari dua puluh empat jamku di sana. Sebuah tempat biadab yang ditelan kemurkaan. Belum lagi kata-kata yang membekas, tak hanya seperempat dari sehari, melainkan bisa berhari-hari. Apalagi kadar kecuekanku belum setara apalagi lebih dari ibu dan nenek, yang cueknya melebihi kucing peliharaanku. Tapi, 'tidak peduli' ialah jalan ninja semua orang yang sama sepertiku.
Kata-kata sore tadi terucap lagi. Darah yang mendarah beserta ucapan yang juga bersinggah dari mulut ibu ke darah asalnya, seakan duo ibu dan anak itu serasi sekali.
"Dulu tak kenal, maka sekarang juga tak kenal juga tak masalah", ucapan itu sebelas-dua belas dengan prinsip ibu.
"Orang itu biasanya gitu, Senja..artinya kau jauh lebih baik daripada mereka yang membenci.. makanya bicaranya di belakang, yang mereka bisa hanya berkata semena-mena, karena kau jauh lebih mampu daripada mereka", lanjutnya.
Kalimat demi kalimat terucap dengan makna yang sama, akan tetapi dengan huruf dan pengucapan yang berbeda. Oleh darah asalnya. Semua terangkum menjadi paragraf yang menguatkan hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Termendung
Short StoryDi bawah lapisan hangat seragam putih biru kusut, Senja Gitarja, sang pahlawan bagi dirinya sendiri kini hadir di dalam gelap dinaungi serigala bertubuh tinggi besar, berseibo hitam berlapis topeng. Benar, serigala-serigala itu bagai manusia yang...