Bian Side
Flashback on
Lima hari kemudian, setelah mereka mengantarkan Syabil ke peristirahatan terakhirnya. Dio benar-benar dari segala aktivitas di luar rumah. Ia mengambil jeda sejenak dari kegiatan kampus, nongkrong, atau sekedar keluar rumah hanya untuk beberapa menit. Bian dan gengannya bukan hanya kehilangan Syabil tetapi sekaligus adiknya, Dio.
Mereka akhirnya berinisiatif ke rumah Dio. Hanya ingin memastikan bahwa orang yang akan mereka temui baik-baik saja secara fisik. Perasaannya? Jelas. Dia tidak baik-baik saja. Mereka tidak datang dengan tangan kosong. Bian dan kawan-kawan membawakan makanan untuk Dio. Siapa tahu dia benar-benar mogok makan dan belum makan.
Sesampai di depan rumahnya, Bian dan gengannya mengetuk pintu dan memanggil si punya rumah. Tak ada jawaban. Di jam-jam seperti ini, Bunda Dio pasti sedang bekerja. Cakra berinisiatif membuka kenop pintu tepat didepannya.
"Gak dikunci. Masuk aja kali, ya?" Ujarnya.
Merekapun memasuki rumah tersebut tanpa izin. Masih memanggil si punya rumah. Menjelajahi setiap ruangannya juga. Mereka tidak menemukan orang yang dimaksud. Hingga akhirnya mereka tiba di depan kamar dengan gantungan pintu yang khas, Please Do Not Disturb I'm Studying. Hanya kamar ini saja yang belum mereka cek. Kamar Syabil.
Perlahan mereka memutar kenop pintu kamar tersebut. Berusaha tidak menimbulkan suara. Mendongakkan kepalanya sedikit. Dan melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Namun alangkah terkejutnya mereka sesampai memasuki kamar tersebut, mereka melihat sosok laki-laki duduk di lantai tepat di samping kasur sambil memegang semacam buku album foto. Ia tak bergerak. Tak bergeming. Hanya menatap setiap album foto itu. Menitihkan air matanya.
"Dio." Shaka mengelus bahu kiri lelaki itu.
Dio menoleh kepadanya. Kepada teman-teman yang lain. Wajah datar. Tak ada guratan apapun pada wajahnya. Namun dari wajahnya, Bian dan kawan-kawannya tahu bahwa Dio tidak memiliki tenaga dan semangat apapun.
"Kita bawain McD. Lo mau kan? Gue beliin yang bagian paha atas kesukaan lo." Kini Chairil yang memulai pembicaraan.
Dio tersenyum. Namun setelahnya ia kembali menatap album foto itu. Foto yang menampilkan tiga sosok laki-laki, Dio, Syabil, dan Kakeknya. Mereka tahu betapa berharganya kedua orang tersebut bagi Dio.
"Lo inget gak, Di? Terakhir pas kita dimarahin sama Mas Syabil." Shaka mencoba menarik perhatian Dio. Dio menoleh ke arah mereka.
"Apa?" Kata Bisma.
"Seorang teman bisa menyelamatkan kita dari mara bahaya. Salah satunya dari rasa kesepian yang mendalam." Jelas Shaka. Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah iya bener. Mas Syabil pernah bilang kek gitu. Dan kita disini pengen ngebuktiin apa yang dibilangin sama Mas Syabil. Nyelamatin lo dari rasa kesepian, Di." Bian memperjelas lagi kalimat yang diucapkan oleh Shaka.
"Itu tugasnya temen. Kan kita temen lo." Ucapan Chairil ada benarnya.
"Bahkan gue juga ikutan dimarahin padahal gue gak ada di TKP." Cakrapun ikutan.
Dio tersenyum. Shaka mengulurkan tangannya. Dio mengenggam tangan tersebut. Shaka menariknya untuk berdiri. Dio melihat sekeliling kamar kakaknya. Dan berakhir menatap teman-temannya. Mereka berjalan ke ruang makan. Di barisan paling akhir sebelum keluar dari kamar tersebut. Satya berbisik pada Bian dan Bisma.
"Gue gak inget Mas Syabil pernah ngomong gitu pas marahin kita." Ucap Satya.
Bisma mengangguk, "sama. Gue juga." Mendengar hal itu, Bian menjewer telinga kedua anak tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drawing Our Moments [On Edit]
General Fiction[Update setiap hari Rabu, Jumat, dan Malam Minggu (kalo gak ketiduran😅)] Dua anak manusia saling bertaut dan merangkai cerita mereka. Terkadang berbenturan. Terkadang terikat. Seiring berjalannya waktu, cinta itu bersemi seperti mekarnya bunga saku...