Bian Side
Hari yang dinanti telah tiba. Sejak pukul 4 pagi tadi, Bian terbangun dan sudah bersiap. Hari ini, ujiannya akan segera dimulai. Dua minggu lalu, ia telah mengikuti ujian akhir sekolahnya. Kini, ujian masuk kuliah gilirannya.
Sejak pagi tadi, Bian tak henti-hentinya membolak-balikkan buku catatannya. Ia membaca kembali apa yang sudah ia pelajari. Papa memperhatikan putra sulungnya yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Tangan kanannya putra sibuk mencomot nastar dari dalam toples dan tangan kirinya membolak-balikkan buku tulisnya. Matanya terpaku pada setiap tulisan yang terdapat pada buku tulis itu.
Sebagai seorang ayah, Papa bangga pada Bian. Entah kenapa dalam sekejap, putranya seperti mendapatkan wahyu dan menemukan semangat hidupnya.
"Huk. Huk. Huk." Bian tersedak.
Papa segera memberikan satu gelas air kepada Bian.
"Makasih, Pa." Ucap Bian. Lalu meneguk air yang diberikan papanya.
"Serius amat, Bi."
"Iya, Pa. Takut nanti lupa pas ngerjain." Papa dudukkan dirinya di samping putranya.
"Semangat, nak. Kamu pasti bisa."
"Makasih, Pa."
"Nanti, Papa saja yang anterin kamu." Papa menawarkan.
"Gak usah, Pa. Aku naik motor aja sama Hera. Kita ujiannya bareng, cuman beda gedung aja." Sejak kemarin, Bian sudah janjian dengan Hera akan berangkat bersama untuk ujian hari ini.
"Kamu yakin? Jauh loh."
"Yakin kok, Pa."
Nini menuruni tangga. Ia sudah siap untuk berangkat ke sekolah.
"Ayo, Pa. Anterin." Papa menoleh ke sumber suara.
"Tuan putri dah siap. Ayo!" Papa tersiap berdiri dan menghampiri putrinya. "Kamu hati-hati berangkatnya, jalanan macet. Pake helm. Jangan lupa bawa KTP sama STNK."
"Siap, Pak Bos." Ucap Bian menatap Papa dan Nini keluar menuju Garasi. Terdengar suara mesin mobil menyala. Papa dan Nini pun pergi meninggalkan Bian yang masih nyemil di pagi hari.
Mama, yang sedari tadi sibuk membereskan peralatan makan bekas sarapan, kini berjalan menuju ruang tamu.
"Loh, abang belum berangkat?" Ucapnya ketika masih melihat putranya di ruang tamu.
"Ini nyemil dulu, Ma."
"Ayo, sana berangkat. Jauh loh. Ntar telat lagi kena macet."
Bian segera membereskan bukunya. Ia memakai sepatunya lalu menyalakan mesin motornya. Sebelum itu, ia berlari ke arah Mama yang berada di daun pintu.
Bian meraih tangan Mama, "doain Bian, Ma. Moga Bian lolos ujian." Ucap Bian. Kemudian, ia mengecup punggung tangan Mama.
Mamanya menangkup wajah putranya. Menciumi pipinya. "Mama bakal doain, Bian sukses." Bian tersenyum dan memeluk Mamanya.
Bian berjalan ke arah motornya. Ia sudah siap berangkat. Mama, melambaikan tangannya, saat melihat putranya pergi. Bian kini harus menjemput Hera di rumahnya. Lalu berangkat menuju kampus tujuan.
🌸🌸🌸
Teriknya sinar matahari memanasi kepala plontos laki-laki berwajah imut itu. Ia berdiri tegap bersama barisan laki-laki dengan kepala plontos dan barisan perempuan yang dikepang dua. Di depan barisan, terdapat satu podium yang dinaiki oleh seorang laki-laki yang memegang alat pengeras suara. "Kalian sebagai calon mahasiswa, seharusnya mengerti dan displin terhadap aturan. Lihat mereka yang ada di barisan depan. Apakah mereka termasuk golongan mahasiswa yang displin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Drawing Our Moments [On Edit]
Ficção Geral[Update setiap hari Rabu, Jumat, dan Malam Minggu (kalo gak ketiduran😅)] Dua anak manusia saling bertaut dan merangkai cerita mereka. Terkadang berbenturan. Terkadang terikat. Seiring berjalannya waktu, cinta itu bersemi seperti mekarnya bunga saku...