Bian Side
Terhitung tiga bulan menuju bulan keempat, Bian berstatus mahasiswa. Embel-embel barunya karena ditambahkan kata 'Maha' didepannya, Bian merasakan sesuatu kekuatan yang begitu dahsyat dalam hidupnya kini.
Kata itu seolah ia berada di atas segalanya. Ia tidak terpaku pada jadwal yang menuntutnya belajar setidaknya delapan jam sehari. Ia tidak perlu membawa beragam buku-buku tebal, cukup dengan notebook saja. Ia tidak perlu memakai seragam dan atribut lengkap. Ia bebas memilih pakaian yang ingin ia kenakan tiap hari.
Tapi kini Bian menyadari, semakin tinggi derajat seseorang maka beban yang dipikul semakin berat terasa. 'Maha' adalah status sosial tertinggi bagi para pelajar. Ruang kelasnya kini seperti sebuah auditori pertemuan para pemimpin negara yang sedang membahas tentang problematika yang terjadi di dunia.
Bian sama sekali tidak tahu jika ada begitu banyak problematika yang terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan di negara di sendiri ia baru saja tahu kalau terjadi begitu banyak pelanggaran HAM berat.
Pantas saja, banyak demo di jalan-jalan, gumamnya dalam hati.
Di sela-sela perdebatan yang riuh, Bagus sempat membisikinya mengenai akan ada rencana demo untuk mendukung solidaritas para pengiat aktivis HAM. Well, pastinya Bagus menawarkan Bian untuk ikut. Bian hanya diam saja sembari mencatat kesimpulan dari perdebatan yang terjadi.
"Gimana Bi? Ikut?", kali ini Bagus membutuhkan jawaban yang pasti darinya.
"Gue gak terlalu into hal-hal yang kayak gitu, Gus. Kapan-kapan deh ya."
Bagus mendeham sejenak, "oke".
Dua puluh menit kemudian, bell berbunyi. Kelas telah usai. Diakhir pelajaran Pak Yusuf memberikan mereka tugas untuk membuat laporan dari semua perdebatan yang terjadi di kelasnya. Lagi dan lagi. Tugas tiada henti.
Bian bergegas memasukkan alat tulisnya ke dalam tas dan bersiap melenggang pergi meninggalkan kelas. Bagus melewatinya terlebih dahulu. Ia pun mengekorinya di belakang.
"Bi, lu mau kemana habis ini?" Bian menoleh ke belakang. Perempuan bersurai hitam nan panjang menghampirinya.
"Ah, gue mau ketemu Shaka sama Satya. Kenapa Ren?"
"Gak papa. Nanya aja".
"Gue duluan ya Ren".
🌸🌸🌸
Di perjalanan menuju fakultas ekonomi, ia bertemu dengan Hera yang terlihat seperti menggerutu.
"Lo, kenapa Ra?" Tanya Bian yang membuat Hera tergelonjak kaget.
"Astaga Bi. Salam dulu keknya. Lo ngagetin gue!" protes Hera.
"Shalom, Mbak Hera" ujar Bian dengan kekehannya yang menyebalkan.
"Shalom" balas Hera singkat.
"Lo kenapa sih, Ra?" Bian merampas ponsel milik Hera secara tiba-tiba.
"Ihh. Bi, apaan sih lo?! Balikin gak!" Titah Hera. Bian tidak peduli. Tangannya mengangkat benda kecil itu setinggi mungkin sembari melihat ke layarnya. Hera melompat-lompat dan menarik tangan Bian.
Sepersekian detik pupil mata Bian membesar, "Ra? Ini maksudnya apa?!"
Hera segera merebut ponselnya dari Bian. Bian menatapnya tak percaya.
"Dia selingkuh?! Pacar lo selingkuh, Ra? Lo tahu itu?!" ucap Bian dengan nada yang sedikit meninggi.
Bagi Bian, keluarga dan teman-temannya adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Sekalipun ia bukan lelaki yang baik namun dirinya tidak dapat menerima jika mereka disakiti. Hera sedikit tersentak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drawing Our Moments [On Edit]
Ficção Geral[Update setiap hari Rabu, Jumat, dan Malam Minggu (kalo gak ketiduran😅)] Dua anak manusia saling bertaut dan merangkai cerita mereka. Terkadang berbenturan. Terkadang terikat. Seiring berjalannya waktu, cinta itu bersemi seperti mekarnya bunga saku...