Bian Side
Sudah sejak seminggu lalu, Bian dan gengannya melihat perubahan terhadap Dio. Dio menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Terkadang diam. Terkadang mengeluh dadanya sakit. Terkadang menangis dalam diam. Namun sebaliknya, Dio seakan-akan berubah menjadi monster ketika bertemu atau berpapasan dengan Tasia. Ia seperti mempunyai semangat hidup untuk menjatuhkan perempuan tersebut, apalagi semenjak ucapannya pada Tasia yang cukup menyakitkan.
Dio berdalih, "dia harus tanggung jawab karena dia penyebab Mas Syabil meninggal."
Awalnya Bian dan gengannya mengira ini hanya amarah sesaat dan akan berhenti jika waktunya tiba. Rupanya Dio benar-benar menyerap dan meyakini ucapannya tersebut.
Bian dan gengannya tentu tidak setuju dengan apa yang diyakini oleh Dio. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menunggu sampai emosi Dio mereda. Namun bagaimana jika tidak kunjung mereda?
Awal tahun ajaran merupakan salah satu waktu tersibuk bagi mahasiswa di kampus. Selain mempersiapkan pembelajaran di semester yang baru dan kegiatan ospek pada beberapa tingkatan, juga mempersiapkan acara dari tiap-tiap UKM, salah satunya adalah choir kampus. Selain menampilkan performance dari angkatan lama, angkatan baru juga dituntut untuk mempersiapkan penampilan pertama mereka. Angkatan baru akan di-handle oleh dua orang senior dari angkatan lama.
Sebagai angkatan baru di UKM choir, Bian, Cakra, dan Dio akan ikut berlatih untuk mempersiapkan acara pentas suara choir. Sekaligus sebagai bentuk resmi dan memperkenalkan mereka menjadi anggota dan angkatan baru choir. Mereka akan berlatih di auditorium kampus pada pukul 16.00 WIB.
Bian yang baru menyelesaikan perkuliahannya melirik jam yang melingkar di tangannya. Waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB. Ia memutuskan untuk menuju auditorium untuk latihan tersebut. Namun sebelumnya, ia mengeluarkan benda berbentuk persegi panjang dan mengerakkan layarnya.
Lo pada dimana? Dah di audit?
Gue langsung otw audit ya
Ntar kita ketemuan di sanaIa pun segera menuju parkiran motor yang berada di paling depan bagian kampusnya. Dalam perjalanan ke sana, ia melihat sosok yang sangat amat dikenalnya. Perbedaan waktu perkuliahan dan fakultas membuat mereka jadi jarang bertemu.
"Lo mau kemana Bi? Buru-buru banget?" Hera meneriakinya dari jauh.
"Audit." Bian berhenti sejenak untuk berbincang dengan Hera di lorong itu.
"Hm, gimana cewek yang waktu itu? Yang dibentak sama Dio? Dia udah gak papa?" Kini Hera sudah mengetahui kejadian minggu lalu pada lorong di depan ruang audisi choir.
Bian mengangkat bahunya, "gue gak tahu sih. Jarang liat juga. Moga baik deh. Kalo dipikir-pikir serem juga Dio pas ngebentak dia."
Hera mengangguk, "gue juga kaget. Dio gak pernah semarah itu keknya."
"Lo habis ini mau ngapain, Ra?"
"Nunggu laki gue. Doi otw dari kampusnya. Dah nungguin dari tadi kagak muncul-muncul!"
"Gue tinggal ya. Buru-buru nih, Ra."
"Oke."
Bian meninggalkan Hera dan segera menuju parkiran kampusnya. Ia menyalakan mesin motor dan segera menuju ke audit. Di depan gedung audit, segeralah ia memarkirkan motornya tersebut. Dan memasuki audit kampus.
Di sana, ia melihat orang-orang yang sudah menduduki kursi penonton yang menghadap di samping audit. Ia pun melihat sosok sudah cukup dikenalnya saat bergabung dengan UKM choir ini.
"Kak, dah mulai?" Bian menghampiri Jemima.
"Belum, lo bisa cari kursi dulu buat duduk. Ada preview dan briefing bentar." Kata Jemima pada Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drawing Our Moments [On Edit]
Ficção Geral[Update setiap hari Rabu, Jumat, dan Malam Minggu (kalo gak ketiduran😅)] Dua anak manusia saling bertaut dan merangkai cerita mereka. Terkadang berbenturan. Terkadang terikat. Seiring berjalannya waktu, cinta itu bersemi seperti mekarnya bunga saku...