DUA

139 9 14
                                    

Sudah setengah hari lebih kami mengaspal, barisan sawah dan rumah berganti kebun kopi dan lada milik warga. Meninjau lokasi proyek adalah hal yang paling tak aku sukai, selain jarak yang jauh dan sinyal telekomunikasi kadang timbul tenggelam aku juga mengkhawatirkan Mamak. Sayangnya pekerjaan ini mengharuskan aku untuk terjun langsung ke lapangan.

Kali ini kami meninjau waduk dan bendungan tua yang cukup jauh dari pusat kota dan berada di dataran tinggi. Sepanjang jalan si tambun terus bicara, menceritakan anak dan istrinya. Bagaimana prestasi akademik si sulung di bangku kuliah lalu si bungsu yang sudah masuk SMA juga sang istri. "Kau tahu idak, kali ini Diana minta mobil baru, sakit kepalaku." Keluhannya meluncur.

"Lah tinggal beliin loh Bay." Jawabku ringan tapi si tambun langsung menyambar.

"Kau ini, meledek caknyo, idak katek duit aku!"

"Ya sehabis selesai proyek ini kan pasti ada."

"Ai susah cerito masalah uang samo bujang."

Kali ini aku hanya bisa tertawa, mendengarnya hatiku seperti disengat tapi semua itu memang benar jadi, mau apa dikatakan apa lagi dan rekanku ini - Bayu - memang suka bicara tanpa saringan.

"Aku ada kalau awakmu mau pakai dulu." Tawarku seperti yang sudah-sudah.

"Idak lah, aku baru balikin kemarin masak nak minjam lagi."

Eh? Tumben, biasanya Bayu tak pernah menolak tapi tak lama dia kembali bicara. "Agek kalau kepepet aku minjamnyo."

Aku tertawa keras. "Gayane mau nolak." Ledekku dan Bayu cengengesan dengan wajah gempalnya.

Jam di dashboard menunjukkan pukul lima sore saat kami sampai di perkampungan terakhir tempat kami tinggal selama bekerja. Kabut mulai turun, membuat suasana semakin suram dan jarak pandang terbatas. Beberapa mobil dari arah berlawanan beberapa kali memberikan isyarat lampu tembak karena kondisi jalan yang licin juga gelap. 

"Ck, kabut lagi! Kerjaan bisa molor ini Bay!" Belum juga mulai aku sudah mengeluh.

"Iyo biasolah namanya juga bukit, tenang bae kalau sudah siang juga hilang."

"Anak-anak sudah sampai?"

"Sudah mereka berangkat kemarin. Kadis bilang sih kalau urusan RAB biso di atur."

"Yo tahu tapi Jangan banyak-banyak Bay, sewajarnya saja."

"Wah kalau idak banyak dak dapat untung."

Bayu temanku ini memang sedikit mata duitan, tapi aku maklum. Kebutuhannya semakin banyak, belum lagi gaya hedon sang istri.

"Ya ngambil lah tapi gak kaya yang kemarin juga, pokoknya sebelum setor RAB kasih ke aku dulu!"

Aku bersikeras dan tak ingin ketamakan Bayu menghancurkan jerih payah kami selama bertahun-tahun. Meskipun kami bersahabat untuk urusan pekerjaan dan bisnis aku tegas dan tak pernah memberi celah. Kejam! Harus! Dan Bayu yang sudah paham pun lebih banyak mengalah.

"Siap Pak Bujang," Bayu kembali berkelakar.

Akhirnya selama sisa perjalanan ini kami saling membisu, aku tak ingin mengganggu konsetrasi Bayu karena selain jarak pandang yang terbatas jalan juga mulai menyempit. Hingga kami sampai di di pertigaan jalan dengan tugu putih yang berdiri tegak di tengah-tengah, sebaris huruf berwarna hitam menyusun ke bawah tertulis Desa Menanga.

Mobil berbelok ke arah kanan, jujur saja saat ini aku seperti déjà vu. Bentuk dan warna tugu yang tegak di tengah kabut, semua itu tak asing seakan-akan aku pernah melihatnya padahal ini kali pertamaku datang kemari. Apalagi tak lama kami melewati dua buah pohon beringin yang berdiri tegak di kedua sisi jalan membuat perasaanku semakin aneh.

RAHASIA MAMAK (HIATUS) T_TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang