ENAM BELAS

84 9 0
                                    

Jam menunjukkan pukul sepuluh, Pak Sartiman sudah pergi pun gadis yang ketusnya bukan main. Aku masih duduk di meja yang sama, sibuk sendiri terkadang menggumam tak jarang juga memijit kening. Tak berdaya selain karena pekerjaanku yang sudah mentok, rasa cemasku semakin menjadi!

Pikiranku beralih dan mulai merunut semuanya satu persatu, menebak kira-kira siapa yang menjadi pelakunya. Jika ucapan Pak Sartiman benar artinya hanya ada dua orang yang harus aku waspadai Mas Sutarjo atau Paklek Hari.

Tapi dari kemarin pikiranku justru terpusat pada Kamal apalagi pertemuanku malam itu sungguh tak wajar. Mungkinkah anak itu keturunan Kuncoro yang lain? Tapi aku tak punya bukti.

Sial! Kesimpulanku kandas. Tanganku meremas kertas yang penuh coretan tentang Kalima. Samar deru halus suara mobil mendekat tak lama senyap lalu disusul suara berat dua pemuda yang bicara riuh rendah. Aku bergegas menutup buku hitam dan menyembunyikannya di bawah buku agendaku yang lain.

Dua pemuda yang aku kenal masuk, tanpa basa-basi salah satunya menyapa. "Pagi Mbak Ratna." Hartono dengan centilnya bicara.

Jelas gadis itu enggan menjawab, lagi-lagi mata bulatnya memelotot seram membuat Hartono terdiam disusul gelak tawa Ujang. "Wes, itu Pak Cahyo di sana!" Si Keriting menuntun Hartono mendekat lalu menarik kursi dengan cepat.

"Masih ada hitungannya?"

"Masih Pak, untung ae ketemu!" Ujang bicara jumawa.

"Yo uwes sini, artinya kita tinggal nunggu Pak Bayu saja."

Aku mengulurkan tangan meminta catatan, dengan sigap si kriting mencari dalam tas selempang sedangkan Hartono masih terpaku pada gadis yang duduk di meja kasir.

Saat pandanganku beralih tatapan kami bertemu, gadis itu langsung membuang muka dan beranjak pergi. Amboy, pemarah betul!

Memang sih, selain mirip Farida sikap ketusnya itu justru membuat Ratna semakin menarik. Seandainya saja dia lebih ramah sedikit pasti ... Eh! Aku mikir apa lah, dasar geblek!

"Har, awakmu sudah telepon Pak Bayu?" Tanyaku mencoba mengalihkan pikiran yang bercabang.

"Sudah Pak tapi ya itu ndak ada sinyal jadi saya cuma sms saja katanya sih sudah sampai semalam." Terang Hartono sembari mengeluarkan gawai.

"Apa katanya?"

"Begitu selesai mereka langsung berangkat!"

Aku manggut-manggut. "Ada pesan untuk saya?"

"Iku handphone yang Bapak minta ndak ada jadi kata Pak Bayu dibelikan yang seri atasnya, ngunu!" Hartono menunjukkan pesan Bayu.

Padahal harapanku Bayu akan mengabariku tentang Mamak bukannya masalah handphone. Aku sedikit kecewa. "Saya pinjem Hp-nya Har untuk telepon Mamak boleh?" Sebenarnya aku tak enak bilang begini tapi sedari tadi cemasku tak juga pergi.

"Monggo Pak!"

Tergesa saja aku menekan nomor Mamak yang aku hapal di luar kepala sembari beranjak pergi meninggalkan keduanya. Susah payah aku berhasil mendapatkan sinyal dan seperti sebelumnya meski berdering berulang kali Mamak tak kunjung mengangkat.

Aku terus mencoba dan tanpa sadar aku sudah berada di ujung bangunan dekat dapur, dari balik pintu gadis itu datang mendekat sembari menjinjing benda pipih berwarna putih saat aku sibuk mendengarkan nada sambung dari gawai Hartono, dering itu berhenti dan membuatku kecewa sekali lagi. 

Gadis itu semakin mendekat, "Nih, pakai aja!" Meski ketus gadis itu menyodorkannya, sebuah laptop lengkap dengan kabel pengisi daya tentu saja aku menatap tak percaya.

"Semalem Pakde bilang kalau laptop Om rusak, jadi pakai aja." Tegasnya lagi

"Beneran?"

"Ngak mau nih?" Dia menarik uluran tangannya.

RAHASIA MAMAK (HIATUS) T_TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang