SEBELAS

64 9 3
                                    

Hanya semalam, seluruh keyakinanku selama ini hancur lebur tak tersisa dan kehadirannya menambah kepahitan nasipku saja. Letih dan nyeri tubuhku bahkan tak terasa, semuanya teredam oleh kesedihan yang meraja.

Tapi gadis ini sungguh tak peduli, dia bertanya dengan angkuhnya, "Pakde gue mana?" Sembari menyilangkan kedua tangan di dada, dahiku mengernyit membuatnya kembali bicara. "Pak Sartiman! Dia gak ada di kamar, kata perawat tadi dia ke sini."

Sial, aku membencinya. "Dia baru pergi!" Jawabku sambil memalingkan wajah, menatap tembok kusam dan meremas jari-jemari sekuat mungkin.

"Ke mana?"

Aku menggeleng pelan, enggan bicara membuat Ratna bergegas pergi tapi detik berikutnya dia berhenti. Dengan cepat memutar tubuhnya lalu mendekat ke arah ranjang. "Jadi Om mau mati?" Sarkasnya.

Tentu saja aku terkejut dan kembali menatapnya dengan mata berkabut. "Kalau mau mati jangan nyusaih orang dong! Apalagi sampai buat Pakde gue yang kurus kerempeng itu berenang sampai ke tengah bendungan!"

"APA!" Aku memijit kepala, tuduhannya membuat gemuruh kesedihanku bertambah. Dia seakan menebar garam di atas lukaku yang berdarah. Bunuh diri? Sialan kenapa aku tak mati saja, batinku meradang.

"Cuma pengecut yang ambil jalan pintas!" Kasar dan pedas wajah cantiknya tak hanya ketus tapi juga mengeras, dia membenciku.

Brengsek! Kenyataan ini sudah menghabiskan semua kesabaranku tapi gadis ini bicara seenak jidatnya. "Ndak usah sok tahu." Tegasku.

"Sok tahu? Seberat apa sih beban hidup loe?" Dia semakin lancang.

Kesedihanku tertelan amarah, tatap mataku tajam namun gadis itu bergeming. "Jangan keterlaluan, lagian kalau saya mati itu juga bukan urusanmu kan? Kita bahkan ndak saling mengenal!"

"Untung aja ngak kenal! Nih gue kasih tahu, masih banyak yang lebih susah dari loe tapi sampai bunuh diri? Ngak! Dia justru bilang persetan tuh!"

Makiannya membuat dadaku semakin panas, masih adakah yang lebih buruk dari ini? Keluargaku habis dibantai sedangkan aku hidup dengan nyaman dan puluhan tahun aku hidup dalam kebohongan. Jadi tahu apa dia tentang kesedihan orang lain namun belum sempat aku bicara gadis ini sudah menyambar.

"Kalau bukan karena Pak Sartiman mungkin dia cuma jadi anjing jalanan jadi kalau sampai Pakde gue kenapa-napa karena nolong orang tolol kaya loe, gue bakalan bunuh loe dua kali meski pun loe udah mati! Paham?"

"Mbak!" Aku menghardik tapi lagi-lagi dia menyela.

"Udah deh gak usah banyak alasan lagian gak ada gunanya ngomong sama om-om pengecut! Ngak kasian apa sama anak istri, gila!"

"Lancang!" Teriakku sekuatnya namun dia sudah menghilang di balik pintu. Gadis itu bergegas pergi tanpa rasa bersalah membuat kepalaku berasap karena penghinaannya.

Aku mengepalkan tangan dan menggigit bibirku sampai berdarah, meluapkan amarah dan kebencian berharap dadaku bisa lega tapi sia-sia. Aku sungguh tak tahu bagaimana menyikapi semua ini. Kebencian dan kasih sayangku melebur jadi satu, menaburkan getir pada semua kenangan yang aku miliki bersama Mamak. Mataku kembali berkabut.

Sepertinya nasihat Pak Sartiman benar, lebih baik jika aku tak pernah tahu semua kebenaran ini jadi lupakanlah dan hidup seperti sebelumnya. Sialan!

Memikirkannya saja, aku sudah hancur berantakan jadi bagaimana bisa aku baik-baik saja setelah semuanya. Aku tak akan pernah sama dan kebencian ini menyemaikan dendam entah pada siapa. Takdirku? Kebohongan Mamak atau diriku sendiri?

Pintu ruangan kembali terbuka aku hampir menyalak, mengira jika gadis lancang itu kembali namun dengan cepat aku menarik diri. Pak Sartiman datang tanpa tiang infusnya, perban putih di atas punggung tangannya menjelaskan jika pria ini sudah melepasnya.

RAHASIA MAMAK (HIATUS) T_TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang