SATU

341 31 95
                                    

Semenit yang lalu aku masih merebahkan tubuh di atas kasur dalam kamarku yang nyaman. Kesadaranku masih ada saat aku mulai terhanyut dan tiba-tiba saja aku sudah di sini, negeri antah berantah. Berdiri mematung tanpa alas kaki dalam hutan yang berkabut.

Asing dan sunyi. Bulan pucat mengintip di antara ranting yang mengering. Tak ada suara apapun kecuali hembusan napasku saja. Pandanganku menyapu ke seluruh penjuru, tak ada siapapun di sini. Hanya batang pohon yang mulai merangas juga rumput pakis serta ilalang yang menguning. Hutan ini sekarat.

Aku berjalan tanpa arah, menerka untuk apa kiranya aku sampai kemari. Cukup lama namun anehnya aku kembali ke tempat semula. Sesuatu membuatku hanya berputar-putar di sini karena ilalang, pakis juga pohon yang merangas itu semuanya sama.

Udara dingin menyapa dan kabut turun semakin tebal. Kini jarak pandangku terbatas hanya beberapa meter saja dan bulan itu menghilang seluruhnya.

Aku terkurung dalam kabut, ketakutanku menguat. Jika ada yang mendekat aku pasti tak tahu dari arah mana dia datang. Sialnya pikiran buruk itu justru menjelma, seseorang mulai mendekat karena dedaunan dan ranting kering itu begemeresak dipijak, ada satu orang yang datang.

Tidak! Ada dua, tunggu sekarang tiga, empat, mereka berlari mendekat. Siapa? Suara tawa anak-anak kecil menggema, memantul dan semakin ramai menjawabnya. 

Sosok-sosok itu berlari di balik tirai kabut, dari satu pohon ke pohon yang lain, mengikik riang bahkan pakis di hadapanku bergoyang setelah bayangan hitam melintas dengan cepat.

"Hei?"

Seruanku membuat suasana kembali hening, begitu senyap bahkan suaraku sendiri terdengar asing, namun semua itu hanya sesaat karena mereka kembali tertawa meski tak lantang seperti sebelumnya. Mereka mengikik lirih saling bicara dengan bahasa yang tak aku mengerti.

Perlahan beberapa kepala kecil itu muncul dari batang pohon, mata mereka putih tanpa retina juga kulit yang sangat pucat. Mereka menunjukku dan berkata, "Pancer!" Serempak.

Memebuatku heran. Apa maksudnya? Aku sudah hampir bertanya, namun suara lain seperti ringkikan kuda terdengar dari belakang punggung dan anak-anak itu segera menarik diri dan menghilang seperti bayangan. Udara menjadi berat dan sesak. Punggungku pun panas, seperti bara api yang didekatkan, menyengat membuatku berkeringat.

Ketakutanku semakin hebat seiring suaranya yang semakin dekat, kini samar terdengar suara air yang menetes di atas dedaunan kering. 

Hembusan napasnya dingin, membelai tengkukku yang sudah merinding tak karuan. Tangannya yang kasar meraba punggungku, dingin dan basah. Aku bergetar hebat, jantungku berdegup kian cepat. Sialnya aku justru membeku.

"Mulih le ... " Bisiknya parau. 

"Ojo wedi le iki aku Ibuk. Mulih yo le?" Seraknya lagi, membuatku bingung dan juga ngeri.

Apa maksudnya, ibu dan pulang?

Sedetik lagi sebelum aku melarikan diri, sosok ini memutar dan menghadang tepat didepanku. Rasa ngeri membuatku memejamkan mata secepatnya. Sungguh tak ingin sekalipun melihat sosoknya.

Dia pasti setan mengerikan pikirku namun sebuah sapaan lembut yang sangat aku kenal membuatku terkejut dan tak sadar segera membuka mata.

"Cahyo?"

Wanita itu tersenyum lembut dengan matanya yang sejernih bintang, menatapku lurus. Wajah yang aku rindukan.

"Farida?" Heranku tak percaya, kenapa dia ada di sini?

"Mulih nggih?"

"Mulih?"

"Farida sudah lama nunggu sampean, pulang nggih?"

RAHASIA MAMAK (HIATUS) T_TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang